Jakarta (ANTARA News) - Meskipun mendapat penentangan kuat dari AS dan Israel, Presiden Palestina Mahmoud Abbas tampil di Sidang Majelis Umum PBB untuk meminta pengakuan Palestina sebagai anggota penuh badan dunia tersebut.

Tindakan Abbas pada Jumat (23/9) untuk meminta pengakuan negara Palestina sebagai anggota penuh PBB dilakukannya setelah selama satu tahun perundingan langsung dengan Israel macet total gara-gara Israel tak bersedia melanjutkan moratorium bagi pembangunan permukiman Yahudi.

Israel bahkan melanjutkan kegiatan tidak sah tersebut di wilayah Palestina yang dikuasainya.

Untuk itu, Abbas mengupayakan penyeimbangan diplomatik bagi upaya Pemerintah Otonomi Nasional Palestina (PNA) mengenai "pembangunan lembaga" dan "pembangunan ekonomi", yang dimaksudkan untuk menciptakan prasarana negara masa depan.

Tapi program pembangunan lembaga dipandang tak lebih daripada khayalan belaka, yang didorong oleh taktik hubungan masyarakat dan tekanan kuat.

Tokoh Palestina di PNA, yang berpusat di Ramallah, Tepi Barat Sungai Jordan, menilai strategi mereka untuk pengakuan PBB sebagai cara meningkatkan tekanan internasional atas Israel.

Pengakuan semacam itu dapat menciptakan tekanan politik dan hukum atas Israel agar menarik pasukan militernya ke luar tanah negara lain yang diakui dengan perbatasan 1967, kata "Menteri Luar Negeri" Palestina Riyadh al-Malki kepada wartawan pada awal tahun ini.

Pendapat serupa disampaikan oleh Nabil Shaath, seorang pejabat senior Fatah. Ia pernah menjelaskan kepada New York Times kalau negara Palestina diakui oleh PBB, maka Israel berarti akan melakukan pelanggaran setiap hari terhadap negara anggota lain PBB.

Oleh karena itu, konsekuensi hukum dan diplomatik pun dapat dilancarkan, yang semuanya akan menyakitkan buat Israel.

Tapi bisakah dipercaya harapan semacam itu terwujud, padahal "masyarakat internasional tak bisa berkutik" jika sudah berhadapan dengan Israel?

Lebanon, misalnya, telah menjadi negara anggota PBB sejak 1945 namun itu pun tak menghalangi Israel menyerang dan menduduki Lebanon selatan dari 1978 sampai 2000. "Masyarakat internasional" juga tak bisa berbuat apa-apa selama sewaktu negara Yahudi tersebut beberapa tahun lalu melancarkan agresi ke Lebanon gara-gara wilayahnya diserang gerilyawan.

Pendudukan Israel atas Lebanon berakhir bukan karena tekanan "masyarakat internasional", tapi semata-mata karena perlawanan rakyat Lebanon mengusir tentara Yahudi dan milisi asuhannya ke luar wilayah itu.

Sejak pemboman besar-besarnnya terhadap Lebanon pada 2006, Israel jelas-jelas telah melanggar kedaulatan Lebanon ribuan kali, begitulah kesimpulan PBB sendiri. Namun pelanggaran wilayah udara oleh pesawat Israel dan penculikan warga Lebanon juga tak pernah memicu "konsekuensi hukum atau diplomatik", yang menyatakan Israel bertanggung jawab.

Duduki Dataran Golan
Kondisi serupa terjadi; sejak 1967 Israel telah menduduki Dataran Tinggi Golan, milik Suriah --yang juga menjadi anggota PBB sejak 1945.

Namun apa yang terjadi? Tak ada perlawanan bersenjata mengenai Dataran Tinggi Golan dan juga tak ada tekanan "masyarakat internasional" agar Israel menarik pasukannya atau bagi pemulangan pengungsi Suriah ke rumah mereka di Dataran tinggi strategis tersebut.

Bahkan setelah Israel secara tidak sah mencaplok wilayah itu pada 1981, tindakan yang dikutuk oleh Dewan Keamanan PBB, kebungkaman "masyarakat internasional" telah memungkinkan kolonisasi Israel atas Dataran Tinggi Golan terus berlangsung tanpa ada hambatan apa pun.

Strategi putus-asa?
Upaya untuk mencari pengakuan diplomatik bagi negara Palestina merdeka di sebongkah tanah Palestina dipandang sebagai strategi putus-asa oleh pemimpin Palestina. Mereka dianggap telah kehabisan pilihan, kehilangan keabsahannya, dan menjadi penghalang serius di jalan untuk meraih kembali hak bangsa Palestina.

Para pemimpin Palestina sesungguhnya telah mengandalkan berbagai forum diplomatik dan i`tikad baik "masyarakat internasional", tapi semua itu tak menghasilkan apa-apa kecuali perundingan tanpa ujung dengan negara Yahudi.

Pada 2004, Pemerintah Otonomi Palestina melancarkan upaya besar untuk memperoleh putusan saran dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda, tembok apartheid Israel di Tepi Barat tidak sah dan harus dirobohkan.

Namun terbukti bahwa selain menunggu putusan itu, PNA benar-benar tak memiliki strategi guna mengerahkan rakyat Palestina dan sekutu mereka agar menekan "masyarakat dunia" agar putusan tersebut benar-benar dilaksanakan.

Putusan itu tak lebih daripada kemenangan "macan kertas", yang tak menghasilkan perubahan apa pun di lapangan.

Memang ada bukti bahwa sementara perunding dan korps diplomatik PNA sibuk di Den Haag, pemimpinnya berusaha menahan upaya organisasi masyarakat sipil di Tepi Barat dan Jerusalem Timur untuk melancarkan pawai dan menarik perhatian bagi putusan ICC, yang hampir bisa dipastikan akan menekan Israel dan Amerika Serikat.

Kini apakah pemerintah "Palestina merdeka" yang wilayahnya masih diduduki Israel dan mengandalkan bantuan dari AS serta Uni Eropa mampu melancarkan tekanan serupa pada masa depan? Catatan PNA setakat ini tak memperlihatkan dasar bagi optimisme.

Terlebih lagi, Amerika Serikat sejak jauh-jauh hari sudah mengancam akan menggunakan hak vetonya jika upaya Palestina untuk memperoleh pengakuan sebagai negara merdeka dan anggota penuh PBB bergulir di Dewan Keamanan.

Washington berkeras kemerdekaan Palestina "cuma bisa diperoleh lewat perundingan langsung dengan Israel", padahal perundingan itu sudah macet lebih dari satu tahun. Penyebabnya ialah Israel tak mau menghentikan pembangunan permukiman Yahudi di wilayah Palestina dan malah menuntut perundingan diselenggarakan "tanpa prasyarat dari Palestina".

Namun, terlepas dari semua upaya tersebut, pendapat ICC jelas memiliki konsekuensi pending. Bukan PNA atau Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) --yang kini tak berkiprah lagi-- lah yang memulai pengerahan, tapi masyarakat sipil Palestina pada 2005 mengeluarkan Seruan Palestina bagi Pembooikotan Divestasi dan Sanksi (BDS).

Upaya itu adalah upaya untuk "mengucilkan" Israel dan "menekannya" agar menghormati hak asasi rakyat Palestina dan hukum internasional, melalui boikot rakyat serupa terhadap mereka yang membantu mengakhiri apartheid di Afrika Selatan.

Namun bukannya "menggolkan negara merdeka", aksi BDS dipusatkan pada hak asasi manusia dan kenyataan. Gerakan tersebut menyerukan diakhirinya pendudukan Israel dan kolonisasi atas semua tanah Arab yang direbut pada 1967; persamaan total bagi warganegara Palestina di Israel; dan penghormatan serta pelaksanaan hak pengungsi Palestina. Semua tuntutan itu sepenuhnya sejalan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan hukum internasional.

PNA tak pernah mensahkan aksi tersebut, dan pada kenyataannya telah berusaha menjauhkan diri dari dan tak mendukungnya dengan hanya menyerukan boikot setengah-hati terhadap barang produksi pemukim Yahudi sementara secara aktif mendorong perdagangan dengan Israel, pelanggaran terhadap seruan BDS.

Lalu pada Senin (31/10), Palestina kembali membuat berita. Dalam pemungutan suara yang bersejarah Organisasi Pendidikan, Sains dan Kebudayaan PBB (UNESCO) memberi PNA anggota penuh di badan dunia tersebut.

Keputusan UNESCO --yang memiliki 194 anggota dan didirikan di ibu kota Prancis, Paris, pada 1946-- dalam sekejap mengundang beragam reaksi dari seluruh dunia, persis seperti saat Abbas pada 23 September mengajukan permohonan Palestina jadi anggota penuh PBB.

Israel tentu saja mengecam tindakan UNESCO sementara pelindungnya, Amerika Serikat, tak ketinggalan menyuarakan penentangannya dan negara adi daya tunggal tersebut bahkan memutuskan sumbangan finansialnya buat badan PBB itu.

Dalam proses pemungutan suara, PNA mengantungi 107 suara dukungan bagi upaya keanggotaannya di UNESCO, sementara hanya 14 negara menentang dan 52 negara lagi abstein.

Sebagai sekutu dekat Israel, AS telah menggambarkan masuknya Palestina ke badan dunia tersebut sebagai "pradini". Washington juga menyatakan tindakan semacam itu "akan merusak proses perdamaian Timur Tengah" --yang telah macet pada Oktober 2010, ketika Israel memutuskan untuk tidak memperbarui moratorium pembangunan permukiman di Tepi Barat. Akibatnya ialah Palestina mundur dari pembicaraan.

Hampir dua dasawarsa sejak "Kuartet Internasional" --Amerika Serikat, PBB, Uni Eropa dan Rusia-- sepakat bahwa Pemerintah Otonomi Palestina dan pemerintah Yahudi mesti mewujudkan perdamaian lewat dua negara terpisah, yang hidup berdampingan.

Presiden AS Barack Obama telah merujuk kepada keputusan Kuartet sebagai prinsip pembimbingnya bagi aksi diplomatik dalam konflik Palestina-Israel, tapi situasi tetap saja suram. Perundingan palestina dengan Israel muncul-tenggelam tanpa pernah ada hasil nyata dan malah macet total sejak Oktober 2010.

Sejak Kesepakatan Oslo ditandatangani pada tahun 1993, "babak baru dalam sejarah Timur Tengah pun merekah". Pemimpin PLO saat itu Yasser Arafat dan perdana menteri Israel Yitzak Rabin, di hadapan presiden AS Bill Clinton, berfoto di depan para wartawan, berjabat tangan, dan membawa perundingan Israel-Palestina ke "hasil kesepakatan yang sebenarnya".

Pemerintah Yahudi pun silih berganti tapi perundingan perdamaian Palestina-Israel tak kunjung selesai.

Palestina menghendaki negara merdeka, tapi dengan syarat Jerusalem jadi ibu kotanya, dan Israel menghentikan perluasan permukiman di wilayah yang telah didudukinya sejak Perang Enam Hari 1967.

Namun Israel tak pernah mempertimbangkan untuk menyerahkan Jerusalem kepada Palestina, apalagi dengan Benjamin Netanyahu sebagai perdana menteri. Banyak orang berharap, di bawah tekanan untuk memperbarui perbatasan kotapraja, Israel "akan mempertimbangkan penyelesaian itu".

Tapi masalah permukiman bahkan lebih sulit diselesaikan. Sekalipun menghadapi tekanan masyarakat internasional dan, yang paling kuat dari Amerika Serikat, Israel tak pernah tunduk dan menolak untuk memperlambat perluasan permukimannya di Tepi Barat Sungai Jordan.

Anti-perdamaian?
Untuk memperlihatkan kegeramannya atas tindakan UNESCO, AS memutuskan untuk menghentikan pembayaran 60-juta dolar AS untuk iuran November, kata wanita juru bicara Departemen Luar Negeri AS Victoria Nuland dalam taklimat hariannya, sebagaimana dilaporkan media transnasional.

Para tokoh Demokrat dan bahkan Republik AS juga tak ketinggalan mengecam tindakan UNESCO, dan Senator AS Ileana Ros-Lehtinen, pemimpin Komite Urusan Luar Negeri mengatakan di dalam satu pernyataan, Senin (31/10), "tindakan gegabah hari ini oleh UNESCO adalah anti-Israel dan antiperdamaian".

Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu tentu saja dengan keras mengecam tindakan UNESCO dan memperingatkan pemerintahnya "takkan duduk berpangku tangan saja".

"Sayangnya, Palestina terus menolak untuk berunding dengan kami. Eh, bukannya duduk di meja perundingan, mereka malah telah memutuskan untuk membentuk persekutuan dengan HAMAS dan melakukan tindakan sepihak di PBB, termasuk hari ini," kata Netanyahu, Senin, sebagaimana dilaporkan.

Pada Selasa (1/11) Netanyahu bahkan mengadakan pertemuan dengan delapan menteri seniornya guna menyerukan diluncurkannya gelombang baru pembangunan 2.000 unit rumah di Jerusalem Timur, Ma`aleh Adumim, dan Gush Etaion.

Sebelumnya, tak lama setelah Mahmoud Abbas tampil di Sidang Majelis Umum PBB, pemerintah kotapraja Jerusalem juga mensahkan pembangunan 1.100 unit rumah baru di permukiman Yahudi di wilayahnya.

Kini di antara tindakan penghukuman Yahudi adalah pembekuan status VIP buat para pejabat senior Palestina untuk melintasi pos pemeriksaan Israel, memberi lampu hijau bagi pembangunan permukiman lagi, dan penghentian pengiriman uang pajak yang dikumpulkan Israel atas nama PNA.

Selain penentangan AS dan Israel atas tindakan UNESCO, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon juga menyampaikan keprihatinan mengenai dampak yang bakal dihadapi dari keputusan UNESCO terhadap pendanaan badan PBB tersebut.

"Apakah kalian sudah menyadari sampai saat ini, tindakan ini dapat memiliki dampak potensial pada dana yang disediakan oleh sebagian negara anggota," kata Ban sebagaimana dikutip Xinhua.

Sebagai penyumbang dana terbesar buat organisasi PBB itu, AS menanggung 22 persen dari anggaran tahunan kantor cabang PBB tersebut --sebanyak 70 juta dolar AS per tahun.

Pemungutan suara Senin dalam sidang UNESCO adalah kemenangan simbolis dan nyata bagi Pemerintah Otonomi Palestina sejak Abbas mengajukan permohonan resmi untuk meminta pengakuan sebagai anggota penuh PBB di Sidang Majelis Umum 23 September. Sementara itu, Dewan Keamanan PBB telah memutuskan untuk membahas masalah tersebut pada November.

Tentu saja Palestina telah memuji tindakan UNESCO sebagai "kemenangan" dan "awal" buat diri mereka.
(C003)

Pewarta: Chaidar Abdullah
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011