Jakarta (ANTARA News) - Dulu ia menjadi orang yang memiliki kekuasaan dan bahkan berkiprah ke luar negeri, tapi kejatuhan pemerintah ayahnya --Muamar Gaddafi-- mengubah jalan hidupnya dari calon pewaris tampuk pimpinan menjadi tahanan yang tak bedaya.
Saif al-Islam Gaddafi, yang ditangkap di gurun Libya, berubah selama aksi perlawanan terhadap lebih dari 40 tahun kekuasaan Gaddafi dari seorang tokoh pembaruan dan letnan yang setia kepada ayahnya jadi orang yang dicari oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda. Ia dituduh melakukan kejahatan terhadap umat manusia.
Ia pernah dipandang sebagai seorang dermawan dan tokoh pembaruan yang diterima di kancah internasional dan disebut-sebut berada di belakang perundingan yang mengakhiri program senjata kimia dan nuklir Libya. Ia berubah menjadi prajurit ketika pemberontak bangkit melawan ayahnya.
Pada hari-hari terakhir pelariannya, menurut beberapa saksi mata yang dikutip media trans-nasional, Saif al-Islam (39) --ia dilahirkan pada 25 Juni 1972-- dilanda kecemasan, kebingungan dan ketakutan. Mula-mula ia dilaporkan menelefon ayahnya melalui telefon satelit, meminta para pembantunya merahasiakan keberadaannya, dan --setelah ayahnya tertangkap lalu dibunuh oleh gerilyawan-- berusaha menghindari nasib menyedihkan yang sama.
Sebelumnya beredar kekhawatiran bahwa dengan bantuan suku Tuareg, Saif al-Islam bisa bersembunyi untuk waktu yang tak terbatas di pegunungan yang membentang di sepanjang perbatasan Libya dengan Niger, Aljazair dan Mali. Suku Tuareg telah menerima berkah dari Gaddafi senior selama 42 tahun kekuasaannya.
Namun ia ditangkap oleh petempur dari pegunungan Zintan, Libya barat-laut, dan satu gambar mengenai dia diperlihatkan di televisi Libya sewaktu ia mengobati tangannya yang cedera. Kini masa depannya tak tentu.
"Bagi Zintan ia hanyalah penjahat yang tak berdaya. Ia tidak berbahaya. Kami tak menghadapi kesulitan dalam menahan di sini dan kami dapat menahan dia sampai pengadilannya dimulai jika itu lebih baik buat Libya," kata Ibrahim Turki, koordinator kesehatan Dewan Peralihan Nasional di Zintan, sebagaimana dikutip AFP belum lama ini.
Menurut dia, pemerintah Libya akan memutuskan nasib Saif al-Islam.
Saif al-Islam dulu digadang-gadang akan mewarisi kekuasaan dinasti Gaddafi di Libya. Saat revolusi berlangsung, ia berikrar akan berperang dan lebih suka mati di tanah Libya daripada menyerah, tapi sekarang ia menghadapi kemungkinan pengadilan oleh pemerintah baru atau ICC.
Banyak pengulas juga ragu bahwa Saif al-Islam dapat memimpin kelompok perlawanan terhadap penguasa baru Libya. Mereka menyatakan kebanyakan pengaruh Saif terkikis oleh dominasi ayahnya --yang kini telah dibunuh gerilyawan.
Penduduk Zintan, kota kecil yang kini terkenal karena berhasil menangkap "tokoh papan atas Libya", mengatakan kepada AFP Saif al-Islam dipindahkan secara rutin dari satu lokasi rahasia ke lokasi lain. Tujuannya ialah untuk memastikan keselamatannya dan melindungi dia dari nasib brutal seperti yang dialami ayahnya.
Pada 20 Oktober, Gaddafi senior ditangkap dan dibunuh oleh para penangkapnya di dekat kota kelahirannya, Sirte, Libya selatan. Gambar yang bocor di Internet memperlihatkan mayat pemimpin terguling Libya tersebut bersimbah darah dan diangkut ke mobil bak terbuka, sementara puluhan pria bersenjata melepaskan tembakan ke udara.
Kematian Gaddafi memicu pengutukan global dan memaksa penguasa baru Libya melakukan penyelidikan mengenai situasi saat ia dibunuh.
Sebagian penduduk Zintan dilaporkan menyatakan mulanya mereka percaya Saif al-Islam juga akan menghadapi kematian lewat kekerasan, tapi sekarang mereka yakin ia tampaknya akan hidup cukup lama untuk menghadapi pengadilan.
Tiga putra Gaddafi tewas di tanah air mereka, bersama ayah mereka.
Keberadaan Saif al-Islam telah menjadi rahasia yang dijaga rapat, dan penduduk Zintan diberitakan menyatakan "tak ada tanda mengenai tahanan itu" sejak ia pertama kali ditangkap pada 19 November, hampir satu bulan setelah ayahnya menemui ajal.
"Ia berada di tempat aman," kata Wakil Perdana Menteri Libya Mustafa Abu Shagur kepada wartawan di ibu kota Libya, Tripoli, Selasa (29/11).
Menurut Shagur, satu-satunya dari delapan anak Gaddafi tersebut, diperlakukan sesuai dengan standard hukum internasional. Sebelumnya ia telah menawarkan diri untuk menyerah kepada ICC. Tapi beberapa pejabat khawatir itu cuma bualan dan memperingatkan tentara bayaran yang bersama dia bahwa kalau mereka berusaha melarikan diri dengan naik pesawat, mereka bisa ditembak-jatuh.
Saif al-Islam sendiri pernah menghadapi saat-saat berbahaya. Ia lolos dari bencana sekalipun rombongan kendaraannya dihantam serangan udara NATO sewaktu mereka meninggalkan kota kecil Bani Walid, sebelum ayahnya tewas di dekat kota kelahirannya, Sirte.
Aksi perlawanan rakyat Libya, yang mendapat ilham dari gelombang perlawanan di negara tetangga --Tunisia dan Mesir, yang belakangan dikenal dengan nama "Arab Spring"-- menarik NATO untuk campur tangan.
Beberapa hari setelah Saif al-Islam ditangkap, beredar laporan media bahwa dewan militer Zintan menolak untuk menyerahkan dia kepada para pejabat NTC, kecuali komandan satuan yang menangkapnya diangkat jadi menteri pertahanan Libya.
Pada pertengahan November, Osama Juili --komandan milisi Zintan yang menangkap Saif al-Islam, diberi jabatan menteri pertahanan dan diambil sumpahnya pada 4 Desember. Namun Juili membantah bahwa pengangkatannya memiliki kaitan dengan tertangkapnya Saif al-Islam.
Jadi Tantangan
Nasib Saif al-Islam tetap menjadi tantangan bagi pemerintah Libya, saat mereka berusaha menyeimbangkan tuntutan bagi balas dendam terhadap putra paling terkenal Gaddafi tersebut dengan seruan oleh masyarakat internasional agar Saif al-Islam menjalani pengadilan yang adil.
Secara singkat, penangkapannya dipandang sebagai memberi peluang bagi pengalihan dari masalah yang dihadapi Libya pasca-perang. Namun ada kekhawatiran itu malah bisa menyulut perpecahan lebih lanjut atau merusak reputasi mereka yang memangku jabatan.
ICC, yang ingin mengadili Saif al-Islam dengan tuduhan kejahatan terhadap umat manusia, juga telah menyeru pemimpin Libya agar Saif al-Islam tak diganggu, dan diperlakukan sejalan dengan norma dan hukum internasional.
Di dalam satu pernyataan pada penghujung November, Kepala Jaksa Penuntut Umum ICC Luis Moreno-Ocampo menyatakan pengadilan Saif al-Islam dapat diselenggarakan di Libya di bawah pengawasan ICC. Shagur pun menyatakan Saif al-Islam akan menjalani pengadilan yang adil.
ICC juga menuduh Saif al-Islam merekrut tentara bayaran untuk melancarkan satu strategi, yang dirancang bersama ayahnya dan kepala dinas intelijen Abdullah as-Senussi, untuk membunuh pemrotes tak bersenjata yang menuntut Gaddafi mundur.
Sebelumnya, Saif al-Islam --yang mengenyam pendidikan di London School of Economics-- dipandang oleh banyak pemerintah di dunia sebagai wajah Libya yang dapat diterima dan bersahabat dengan Barat dan calon pewaris ayahnya.
Namun ketika pemberontakan meletus, ia memilih setia kepada keluarga dan sukunya daripada kepada banyak temannya di Barat.
Saat Tripoli jatuh ke tangan gerilyawan pada Agustus, jaksa penuntut ICC mengumumkan ia "telah ditangkap, sehingga membuka jalan bagi pengekstradisiannya". Namun, itu terbukti keliru dan ia segera muncul di satu hotel Tripoli yang digunakan oleh wartawan asing untuk membuktikan bahwa ia masih bebas.
Kendati masyarakat internasional mengkhawatirkan keselamatan Saif al-Islam, penduduk Zintan menyampaikan keinginan mereka untuk menyaksikan keadilan berjaya, dan sekali lagi membuktikan bahwa Libya baru akan taat hukum, dan bukan pembalas dendam.
Putra Gaddafi itu, menurut warga Zintan, akan "tetap dianggap tak bersalah, sampai pengadilan membuktikan ia sebaliknya".
"Cuma pengadilan yang dapat membuktikan perbuatannya. Kami perlu mengetahui apakah ia memerintahkan pembunuhan terhadap warga Libya selama pemberontakan terhadap ayahnya," kata seorang pejabat Zintan sebagaimana dilaporkan AFP.
Mereka, katanya, juga ingin mengetahui apakah Saif al-Islam menggunakan uang Libya untuk membunuh orang Libya.
Ia pernah "dijagokan" sebagai calon pemimpin masa depan Libya dan memelopori pendekatan pemerintah ayahnya dengan Barat. Tapi pada Sabtu (19/11) ia tak bisa mengelak lagi ketika kepergok petempur oposisi dan diterbangkan ke Zintan untuk menjalani penahanan selama menunggu pengadilan atas dirinya.
Zintan adalah salah satu kota kecil di Libya barat yang menghadapi kemarahan paling keras militer Gaddafi selama awal konflik. Seperti banyak wilayah lain, Zintan sekarang memiliki pasukan otonomi sendiri dalam jumlah cukup banyak dan belum berada di bawah kendali Dewan Peralihan Nasional. (C003)
Oleh Chaidar Abdullah
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011