... tiap bulan hampir 80.000 sapu yang disusun dalam kontainer-kontainer besi dia kirim ke ketiga negara itu dengan nilai ratusan juta rupiah...Jakarta (ANTARA News) - Cuma sapu seharga belasan ribu rupiah saja yang diremehkan orang. Masihkah sapu itu remeh jika jumlahnya puluhan ribu dengan harga ratusan juta dan peminatnya dari tiga negara? Pasti tidak, namun tidak semua orang seperti Bambang Triono, yang menekuni pembuatan dan pengiriman sapu ini.
Semua berawal dari modal yang diberikan isterinya sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia. beberapa tahun lalu. Triono dari kampungnya di Desa Karanggambas, Kecamatan Padamara, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, mengolah sedemikian rupa uang kiriman istrinya itu.
Dia memilih membuat sapu gelagah, menggerakkan ibu-ibu tetangganya untuk turut membuat sapu yang kemudian dia beli. Harganya antara Rp6.000 dan Rp11.000 untuk satu sapu yang rutin dia kumpulkan.
Itu cerita, cerita agak lama. Lain lagi sekarang, dia harus berurusan dengan dokumen-dokumen pengiriman barang dan transfer pembayaran serta surat-menyurat lain berbahasa Inggris. Kenapa begitu? Tidak lain karena pembelinya berasal dari Korea Selatan, Malaysia, dan Thailand!
Kini, tiap bulan hampir 80.000 sapu yang disusun dalam kontainer-kontainer besi dia kirim ke ketiga negara itu dengan nilai ratusan juta rupiah.
Jumlah ibu-ibu tetangganya yang turut dalam usaha itu juga bertambah, sampai 300 orang. Mereka membuat sapu gelagah itu di sela kegiatan sehari-hari; dimana dua ons rumput gelagah yang dianyam dengan tali rafia bersama sebatang bambu bisa menjadi satu sapu.
Bahan gelagah diperoleh dari para petani gelagah yang menanam gelagahnya di sela pepohonan di lahan Perhutani di lereng gunung di Desa Karangreja dan Karangjambu.
Sedangkan soal pemasarannya yang mampu menjangkau negara lain dimulai sejak dua tahun lalu, ketika Triono belajar menggunakan internet melalui Purbalingga Cyber Market.
"Pesanan sapu dari luar negeri seharusnya sampai tiga kontainer per bulan, namun Pak Bambang tak mampu memenuhinya karena keterbatasan peralatan yang dimiliki," kata Asisten Deputi Menristek bidang Iptek Masyarakat, Momon Sardyatmo, yang berkunjung ke lokasi usaha Triono di Desa Karanggambas.
Kementerian Riset dan Teknologi, ujarnya, sudah mengupayakan beberapa bantuan peralatan seperti mesin potong gelagah dan mesin pengering yang dikirimkan dari Kementerian Pertanian, bahkan ada pula mesin perontok dari LIPI yang terpaksa belum bisa digunakan. (D009)
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2011