Jakarta (ANTARA News) - Pemahaman tentang upaya pengurangan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) masih beragam baik di tingkat pemerintah, pelaku usaha maupun masyarakat, sehingga perlu komunikasi dan sosialisasi yang intensif agar tercapai kesepahaman.

"Pemahaman tentang REDD, baik dalam hal cakupan hutan, metoda perhitungan (accounting), penetapan level emisi (REL/RE) maupun sistem evaluasi dan pengawasan (MRV), masih beragam, sehingga masih perlu sosialisasi yang intensif," kata Sekretaris Pokja LULUCF Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Doddy S Sukadri.

Ia mengatakan hal itu dalam diskusi mengenai persiapan negosiasi dan implementasi REDD Plus di Palangka Raya, Sabtu.

Selain masalah pemahaman itu, katanya, regulasi yang ada juga tidak mampu mengimbangi perkembangan berbagai inisiatif dalam hal implementasi REDD, terutama inisiatif yang bersifat sukarela (voluntary) dari berbagai kalangan, baik dunia usaha maupun pribadi, padahal potensinya cukup besar.

"Saat ini ada 30-40 kegiatan terkait REDD bersifat sukarela yang belum ada regulasi, sehingga terhambat impelemtasinya," katanya dalam diskusi yang dihadiri para pemangku kepentingan baik dari kalangan pemerintah, lembaga swadaya dan masyarakat tersebut.

Hal senada diutarakan pembicara lain dalam diskusi itu, Hanafi, bahwa pemerintah harus memikirkan dan memberi jalan bagi masuknya dana-dana swasta dalam pendanaan REDD, dengan cara menyiapkan infrastruktur pasar yang mendukung.

"Potensi swasta besar, dan hal itu harus difasilitasi," katanya.

Hal lain yang mengemuka dalam diskusi itu yakni tidak adanya koordinasi dalam implementasi REDD yang berjalan selama ini. Hanafi memberi contoh, ada tujuh program REDD yang berjalan selama ini di Kalimantan Tengah, namun Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah tidak mengetahui perkembangan masing-masing program.

"Belajar dari pengalaman ini, perlu ada lembaga semacam pusat informasi atau clearing house, sehingga data lokasi REDD dan perkembangan kegiatan terkontrol. Selanjutnya program yang sudah ada bisa dijadikan model di tempat lain," katanya.

Doddy mengingatkan bahwa Indonesia merupakan negara yang paling maju dalam menuju implementasi REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), namun tidak diimbangi kelembagaan yang memadai termasukn kapasitas sumberdaya manusianya.

"Maka diperlukan percepatan pembentukan kelembagaan REDD yang independen dan kredibel," katanya.

REDD Plus yakni perluasan REDD hingga mencakup kawasan hutan masyarakat dan kawasan lain yang sesuai, sudah menjadi kebijakan Pemerintah dalam upaya menyelamatkan hutan Indonesia dan sekaligus tulang punggung penurunan emisi gas rumah kaca (GRK), maka semua pihak diharapkan mendukung implementasi REDD Plus tersebut.

Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) dengan luas sekitar 15 juta ha, terdiri dari sekitar 10 juta ha hutan, merupakan percontohan program REDD Plus.

Dari seluruh areal hutan di Kalteng terdapat areal gambut sekitar 3 juta ha. Areal gambut tersebut mengalami degradasi karena berbagai hal antara lain pembalakan liar dan proyek lahan sejuta hektare pada masa pemerintahan Soeharto.

Untuk Indonesia, kawasan hutan termasuk areal gambut, merupakan sumber emisi gas rumah kaca terbesar. Deforestasi dan pembakaran hutan dan areal gambut sangat berperan dalam emisi GRk, sehingga rehabilitasi hutan dan lahan gambut menjadi sangat sentral dalam kerangka REDD. (B012/Z002)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011