Jika semua warga Indonesia yang tersebar di belahan dunia menulis dan menyampaikan gagasan serta ide-ide positifnya, bukan hanya satu orang yang membaca, melainkan seluruh dunia ikut membaca.

Jakarta (ANTARA News) - Saya sering tergelitik rasa penasaran untuk tahu wahyu pertama apa yang diberikan Tuhan pada setiap utusan-Nya.

Ketika Nabi Adam kali pertama diciptakan, Tuhan membanggakannya di hadapan malaikat, jin, dan iblis dengan meminta Adam menyebutkan nama-nama. Akan tetapi, setelah itu tidak diketahui apa wahyu yang diterima Adam saat kali pertama diturunkan ke bumi, masih berkutat soal 'nama-nama'? (Dalam artian membaca).

Bagaimana dengan Ibrahim? Yusuf? Moses (Musa)? Solomon (Sulaiman)? Hingga Yesus (Isa) alaihissalam. Adakah sebuah kebetulan atau keistimewaan saat kemudian pada era Muhammad saw. wahyu yang pertama turun adalah "Iqra!", "Bacalah ...!". bukan "Sembahlah ....", atau "Bertasbihlah ...!", atau lainnya. Tetapi "Bacalah!" (Think, proclaim, declaim, etc.).

Sejarah kehidupan manusia secara umum dibagi dua. Sebelum manusia mengenal baca dan tulis dan setelah manusia mengenal baca dan tulis. Satu perbedaan yang sangat besar adalah saat kebudayaan baca dan tulis ditemukan kali pertama oleh bangsa Sumeria hingga abad 21.

Saat ini, bukan hanya bumi, melainkan tata surya mampu dijelajah oleh manusia. Daratan menjadi terasa sempit dan datar seolah tak memiliki border, dunia memiliki jendela di mana-mana. Di sudut kampung, gang-gang, jalan raya, rumah, pasar, mal, tak terhitung semua begitu mudah saling menyapa dan berserapah.

Teknologi seperti kian tak terkejar dan menjadi sesuatu yang sangat gandrung. Akan tetapi, tetap saja menjadi asing bagi manusia-manusia yang bebal dan malas membaca.

Workshop be writer

Gerakan "Indonesia Membaca" sebuah mahar untuk menjadi bangsa maju, memang terus tak lekang dikampanyekan oleh para penggiat literasi. Rumah-rumah baca kian menjangkau hingga ke pelosok. Program Internet masuk desa menyapa wajah-wajah polos yang haus akan kabar pesatnya zaman.

Sebuah mimpi besar yang ingin diraih sekalipun bangsa ini masih lusuh dan hampir tak punya malu dengan terus mengirimkan anak-anak perempuannya menjadi buruh rumah tangga di negeri-negeri orang. Lucunya, para penggede menyebutnya 'Duta Bangsa'. Dari penyebutan 'Duta Bangsa' saja saya mengenal betapa kacaunya cara berpikir para tuan itu. Jika 'duta' sebuah utusan terhormat, kenapa kirim 'pembantu' sebagai duta?

Satu hal yang bisa dijelaskan adalah karena masih malasnya orang Indonesia untuk membaca. Jika rajin membaca tentu tidak bodoh. Jika tidak bodoh tentu tidak akan mengirimkan seorang pembantu sebagai 'duta' atau tidak akan ada seorang pun wanita Indonesia yang mulia menjadi pembantu di negeri orang.

Sejalan dengan gerakan "Indonesia Membaca" yang digelorakan di Tanah Air lewat beragam workshop kepenulisan, sosialisasi taman bacaan yang dikenal dengan 'clue' Gempa Literasi, maka hal yang sama terjadi juga di negeri Teluk.

Mulai 16 s.d 26 Desember 2011, gempa literasi merambah kawasan teluk dan menyapa warga Indonesia yang bermukim di sepanjang teluk Persia. Kegiatan ini berupa "Workshop Be Writer" dalam rangkaian kegiatan "Gempa Literasi" dengan tema "Membaca Indonesia dari Timur Tengah". Sebuah rangkaian kegiatan yang dimulai dari kota Abu Dhabi kemudian ke kota Ruwais Uni Emirat Arab.

Sedianya Hal yang sama pun akan dilaksanakan di Dubai. Namun sayangnya tidak jadi karena alasan teknis yang bukan hak saya menjelaskan. Kegiatan ini bukan hanya ditujukan bagi para pekerja profesional dan pelajar yang bermukim di Negara Persatuan Emirat Arab saja, melainkan bagi para nakerwan yang saat ini berada di penampungan di KBRI Abu Dhabi.

Semangat literasi ini mendapat dukungan sangat baik dari Kedutaan besar Republik Indonesia di Abudhabi, Garuda Indonesia serta Bank Mandiri perwakilan PEA dengan menghadirkan pahlawan literasi Indonesia yang baru saja mendapatkan penghargaan Presiden lewat IKAPI award-nya, yaitu GOLA GONG-Balada Si Roy.

Mengubah wajah Indonesia

Mengubah wajah Indonesia di negara kaya minyak memang bukan pekerjaan membalikan telapak tangan. Satu juta lebih warga negara Indonesia yang mengadukan nasibnya di negara-negara teluk yang kaya minyak masih didominasi oleh tenaga kerja unskilled labour yang di atas saya singgung sebagai "Duta Bangsa".

Belum lagi anak-anak bangsa yang meremahkan harga dirinya menjadi warga haram dan tersebar tak terlacak bagai makhluk jejadian hampir di setiap negara.

Mantan Duta Besar Indonesia untuk PEA (2009-2011), Wahid Supriyadi, pernah menyampaikan betapa beliau merasa 'terhina' saat kali pertama menginjakkan kakinya di negeri tempat dia bertugas saat itu. Persoalannya adalah pekerjaan rumah yang masih belum berubah, yaitu membangun nama besar bangsa di tengah realitas yang begitu terpuruk.

Namun, dalam kurun waktu tiga tahun dengan dedikasi yang luar biasa sebuah lompatan besar telah terjadi. Indikasinya adalah nilai kerja sama ekonomi yang dulu hanya berkutat dihitungan angka-angka sempoa, saat ini sudah mencapai miliar dollar.

Mengapa begitu penting mengubah wajah ini di kancah international, khususnya di Timur Tengah? Suka atau tidak suka pada saat gonjang-ganjing ekonomi melanda negara-negara maju di Eropa sana, justru Timur Tengah menjadi primadona karena surplus kapital dengan minyak hitamnya.

Semua mata dunia nanar melihat uang begitu mudah dihambur-hamburkan. Timur Tengah menjadi gerbang menjanjikan bagi pasar Afrika, Asia Tengah, dan sekitarnya. Infrastruktur serta mesin-mesin uang dalam bentuk industri-industri besar dari hulu sampai hilir dibangun dengan kapasitas jutaan ton seolah siap mencaplok dunia dan seisinya.

Lalu, di tengah kompetisi serta kesibukan yang masif ini di mana wajah Indonesia? Sejalan dengan semangat yang pernah disampaikan oleh Wahid Supriyadi, mantan Dubes RI untuk PEA, bahwa usaha yang telah beliau rintis harus dilanjutkan.

Mengubah wajah Indonesia di pentas internasional, khususnya di negara yang didiami 200 lebih warga negara asing dari berbagai suku bangsa tidak hanya sebatas pada tataran diplomatik dan ekonomi semata, tetapi pada pembangunan kualitas manusia Indonesia di mana pun berada.

Jika semua warga Indonesia yang tersebar di belahan dunia menulis dan menyampaikan gagasan serta ide-ide positifnya, bukan hanya satu orang yang membaca, melainkan seluruh dunia ikut membaca.

Wajah baru Indonesia ini penting sekali digaris bawahi tanpa pernah lagi mengirimkan tenaga kerja yang tidak terdidik ke negeri orang, di mana pun dan sampai kapan pun. Dan, tugas mengubah wajah Indonesia adalah kewajiban yang diemban setiap anak bangsa.

Sekarung mimpi

"Think Global, Act Global!", Begitu saat ini jargon baru diucapkan oleh Gola Gong pendiri komunitas baca Rumah Dunia. Dahulu, ketika kali pertama dirintis masih terbatas pada "Think Global, Act Local" dengan mendidik anak-anak kampung agar mampu menggenggam dunia, maka saat ini tidak hanya anak-anak kampung Ciloang saja yang bisa menikmati gurihnya dunia literasi, tetapi warga Indonesia di belahan dunia lain pun dapat merasakan hal yang sama.

Memang diakui, para penulis yang lahir dari para tenaga kerja di Timur Tengah masih dibilang miskin karya. Sebenarnya banyak potensi, tetapi masih malu-malu untuk tampil dan melahirkan buku-buku yang ikut mewarnai kancah kepenulisan nasional.

Selama ini baru Eni Kusuma (Anda Luar biasa) dkk. dari para pekerja migran di Hong Kong atau Yenni (Gadis Bukan Perawan) dkk. dari Taiwan yang baru dikenal. Meskipun begitu usaha melahirkan karya-karya sudah perlahan dimulai oleh lahirnya buku "Tamasya ke Masjid" (Jaya Komarudin Cholik-Gong Media Cakrawala) yang pertengahan tahun lalu diluncurkan.

Sekarung mimpi yang akan diraup dan diwujudkan oleh Link-Kita, organizer kegiatan ini adalah lahirnya para penulis baru yang akan mewarnai kancah kepenulisan yang tidak hanya nasional, tetapi juga internasional.

Semua menjadi serba mungkin jika hal tersebut sungguh-sungguh diupayakan. Sekarung mimpi itu saat ini tengah diupayakan dengan hadirnya kegiatan workshop ini. Terlebih dengan keberadaan dua komunitas warga Indonesia yang mengelola para profesional di negeri PEA ini, yaitu KMMI Abu Dhabi dan Indo-emirates yang bahu membahu agar kegiatan ini berjalan dengan baik.

Dalam sekarung mimpi itu tentu saya bermimpi wajah Indonesia yang teringat bukan wajah-wajah lusuh anak bangsa di penampungan tetapi wajah-wajah berseri menyambut Indonesia maju dan gemilang di kancah dunia sampai berakhirnya masa.

*Aktivis penggerak literasi, ambassador rumah dunia untuk PEA. Penanggung jawab kegiatan, penulis buku "Tamasya ke Masjid"- Gong Media Cakrawala. Bermukim di Timur Tengah, bekerja di sebuah perusahaan multinasional.

Oleh Jaya Komarudin Cholik*
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2011