"Pengadilan harus dilakukan dan amnesti ditolak," teriak demonstran di Jalan Sitin, Sanaa, dekat Lapangan Perubahan yang menjadi pusat protes yang meletus pada Januari untuk menuntut pengunduran dirinya setelah berkuasa 33 tahun, lapor AFP.
Demonstrasi serupa dilakukan di 18 kota di Yaman untuk menanggapi seruan komite pusat penyelenggara protes, dan pemrotes menekankan bahwa Saleh dan para pembantunya harus menghadapi pengadilan karena pembunuhan demonstran.
"Harus ada hukuman atas penumpahan darah kaum muda," kata ulama Waheeb al-Sharabi dalam khutbah sholat Jumat di Taez, kota terbesar kedua di Yaman dan ajang pergolakan utama dalam konflik dengan pasukan yang setia pada Saleh.
Saleh (69), yang memerintah Yaman selama 33 tahun, menandatangani perjanjian penyerahan kekuasaan yang ditengahi oleh negara-negara Teluk di Riyadh pada 23 November, yang menetapkan ia menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya meski ia tetap menjadi presiden kehormatan sampai Februari.
Prakarsa Dewan Kerja Sama Teluk yang bertujuan mengakhiri protes berbulan-bulan itu menetapkan Saleh mengundurkan diri dengan imbalan kekebalan dari tuntutan hukum bagi dirinya dan anggota-anggota keluarganya.
Pada 7 Desember, Wakil Presiden Yaman Abdrabuh Mansur Hadi mengeluarkan sebuah dekrit yang mensahkan pembentukan pemerintah persatuan nasional yang disepakati sesuai dengan perjanjian penengahan Teluk.
Pemerintah baru yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammed Basindawa akan menjalankan tugas selama tiga bulan, dan setelah itu pemilihan umum dilaksanakan dan Hadi akan secara resmi mengambil alih tugas presiden.
Demonstrasi di Yaman sejak akhir Januari yang menuntut pengunduran diri Saleh telah menewaskan ratusan orang.
Dengan jumlah kematian yang terus meningkat, Saleh, sekutu lama Washington dalam perang melawan Al-Qaida, kehilangan dukungan AS.
Pemerintah AS mengambil bagian dalam upaya-upaya untuk merundingkan pengunduran diri Saleh dan penyerahan kekuasaan sementara, menurut sebuah laporan di New York Times.
Para pejabat AS menganggap posisi Saleh tidak bisa lagi dipertahankan karena protes yang meluas dan ia harus meninggalkan kursi presiden, kata laporan itu.
Meski demikian, Washington memperingatkan bahwa jatuhnya Saleh selaku sekutu utama AS dalam perang melawan Al-Qaida akan menimbulkan "ancaman nyata" bagi AS.
Yaman adalah negara leluhur almarhum pemimpin Al-Qaida Osama bin Laden dan hingga kini masih menghadapi kekerasan separatis di wilayah utara dan selatan.
Yaman Utara dan Yaman Selatan secara resmi bersatu membentuk Republik Yaman pada 1990 namun banyak pihak di wilayah selatan, yang menjadi tempat sebagian besar minyak Yaman, mengatakan bahwa orang utara menggunakan penyatuan itu untuk menguasai sumber-sumber alam dan mendiskriminasi mereka.
Negara-negara Barat, khususnya AS, semakin khawatir atas ancaman ekstrimisme di Yaman, termasuk kegiatan Al-Qaida di Semenanjung Arab (AQAP).
Negara-negara Barat dan Arab Saudi, tetangga Yaman, khawatir negara itu akan gagal dan Al-Qaida memanfaatkan kekacauan yang terjadi untuk memperkuat cengkeraman mereka di negara Arab miskin itu dan mengubahnya menjadi tempat peluncuran untuk serangan-serangan lebih lanjut.
Yaman menjadi sorotan dunia ketika sayap regional Al-Qaida AQAP menyatakan mendalangi serangan bom gagal terhadap pesawat penumpang AS pada Hari Natal.
AQAP menyatakan pada akhir Desember 2009, mereka memberi tersangka warga Nigeria "alat yang secara teknis canggih" dan mengatakan kepada orang-orang AS bahwa serangan lebih lanjut akan dilakukan.
Para analis khawatir bahwa Yaman akan runtuh akibat pemberontakan Syiah di wilayah utara, gerakan separatis di wilayah selatan dan serangan-serangan Al-Qaida. Negara miskin itu berbatasan dengan Arab Saudi, negara pengekspor minyak terbesar dunia.
Selain separatisme, Yaman juga dilanda penculikan warga asing dalam beberapa tahun ini. (M014)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011