"Dari sisa bangunan, kami menemukan ada struktur, tembikar, uang kepeng tiga buah. Ini sudah menandakan di tempat ini adalah sebuah situs," kata Arkeolog BP3 Trowulan, Danang Wahyu Utomo ditemui di lokasi penggalian, Jumat.
Selain ada temuan berupa struktur, ia juga mengatakan ada sejumlah benda bersejarah lain, seperti "dor pel" yang merupakan ambang pintu. Benda itu adalah pintu masuk sebuah candi, lumpang untuk meramu makanan, serta bebatuan lain.
Ia mengatakan, sudah melakukan penggalian selama empat hari di situs yang dipercaya warga sebagai lokasi petilasan Calonarang tersebut. Namun, pihaknya belum bisa memastikan lokasi ini adalah petilasan Calonarang, karena tidak mempunyai bukti otentik.
Pihaknya hanya melakukan penggalian, sebagai upaya mencari bukti di tempat itu adalah situs, dan pihaknya menemukan. Karena kelangkaan akan ditemukan benda-benda bersejarah, BP3 meminta agar pemda setempat memperhatikan tempat ini.
"Jelas, lokasi ini adalah sebuah situs. Kami berharap, tempat ini dijadikan sebagai cagar budaya oleh Bupati," jelasnya.
Ia mengatakan, penetapan itu tidak harus dilakukan oleh pusat. Dengan adanya peraturan yang baru, pemerintah daerah pun bisa menetapkan lokasi yang merupakan peninggalan sejarah sebagai cagar budaya.
Danang juga mengaku tidak terlalu khawatir barang-barang peninggalan ini hilang, karena masyarakat turut serta menjaganya. Terlebih lagi, ada kelompok masyarakat tertentu yang juga menghormati tempat ini, dan sering datang berkunjung.
Selain tim dari Bp3 Trowulan, rencananya dari tim dari Balai Arkeologi dari Yogyakarta juga datang ke lokasi. Mereka melakukan penelitian yang berdasarkan akademis.
Ketua tim Balar, Sugeng Rianto mengaku masih harus mempelajari tentang situs tersebut. Sampai saat ini, pihaknya juga belum ada bukti otentik lokasi itu adalah petilasan dari Calonarang.
"Secara akademis belum valid, harus dibuktikan terlebih dahulu," katanya singkat.
Lokasi situs itu terletak di Dusun Butuh, Desa Sukorejo, Kecamatan Gurah, di areal tanah yang dikelilingi lahan pertanian. Tempat ini sering didatangi kelompok tertentu. Masyarakat percaya situs itu adalah petilasan Calonarang yang hidup saat zaman Raja Airlangga.
Calonarang ini diceritakan sebagai seorang "rondo" (janda, red) yang menguasai ilmu hitam dan penganut aliran durga yang sakti dan jahat. Ia dijuluki "Rondo Naten Girah" (janda yang tinggal di Girah). Karena sangat jahat, warga menamainya Calonarang. Ia juga mempunyai banyak murid, yang semuanya adalah perempuan.
Calonarang mempunyai seorang putri bernama Diah Ratnamangali, namun, tidak ada yang berani mendekatinya karena diisukan ia mempunyai ilmu hitam atau di Bali disebut dengan leak. Hal itulah yang memicu permusuhan antara Raja Airlangga dengan Calonarang.
Namun, Calonarang berang dengan pergunjingan itu. Ia memuja Batari Durga dan meminta agar diizinkan menyebarkan penyakit untuk membunuh masyarakat sebanyak banyaknya. Oleh Batari Durga permintaan itu dikabulkan dengan syarat wabah penyakit yang disebarkan itu tidak sampai ke kota kerajaan. Korban berjatuhan, hingga membuat Raja Airlangga berang.
Raja Airlangga mengutus Empu Baradah yang tinggal di Desa Lemah Tulis karena hanya dialah yang bisa menghentikan kekejaman Calonarang. Menumpas Calonarang, Empu Baradah meminta putranya, Empu Bahula meminang Ratnamangali dengan tujuan bisa mencuri kitab yang menjadi rahasia kesaktian Calonarang. Taktik itu berhasil, hingga Calonarang bisa dikalahkan.
Kisah Calonarang di Kediri tidak jauh beda dengan cerita yang berkembang di Bali. Hanya nama tempat kejadiannya yang sudah mengalami sedikit perubahan. Seperti Daha yang kini menjadi Doho, Girah berubah Gurah dan Jenggala berubah Jenggolo.
(ANT-073/C004)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011