Jakarta (ANTARA) - Pemerintah diminta segera memberikan kepastian waktu pembayaran kompensasi atas penjualan bahan bakar minyak (BBM) dan gas LPG kepada PT Pertamina (Persero) yang totalnya hingga tahun ini diperkirakan mencapai Rp324,5 triliun.
“Pembayaran kompensasi harusnya di bulan apa, jadi kalau memang belum cair itu lamanya dimana. Dari sisi audit lama atau pencairan, itu semua harusnya transparan. Untuk lima bulan 2022 saja sudah mencapai Rp100 triliun,” ujar Abra PG Talattov, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) di Jakarta, Jumat.
Pemberian kompensasi kepada Pertamina adalah konsekuensi atas pemberian subsidi untuk BBM jenis Solar dan LPG 3 kg serta keputusan pemerintah menetapkan Pertalite masuk Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBBKP) pada Maret 2022 yang berlaku surut. Pertamina menyediakan Pertalite dengan harga pasar tapi dijual dengan harga Rp7.650 per liter.
“Makanya, selisihnya menjadi kompensasi yang wajib ditutup pemerintah,” kata Abra dalam keterangan tertulis.
Menurut dia, keterlambatan pemerintah membayar utang kompensasi akan mempengaruhi reputasi Pertamina dalam mencari investor saat menerbitkan obligasi. Karena itu, pemerintah diminta untuk memikirkan hal itu. Kalau peringkat kredit turun karena pemerintah terlambat bayar utang, Pertamina terkena penambahan biaya bunga.
“Ada inefisiensi dalam penerbitan obligasi, ada tambahan biaya cost of fund yang disebabkan keterlambatan pembayaran piutang oleh pemerintah,” katanya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengakui harga keekonomian Pertalite, solar, minyak tanah, LPG sudah jauh di atas harga asumsi Indonesia Crude Price (ICP) yang ditetapkan 63 dolar AS per barel. Saat ini harga keekonomian meningkat tajam sejalan dengan ICP yang bertengger di atas 100 dolar AS per barel. Dengan demikian harga keekonomian minyak tanah berubah menjadi Rp10.198 per liter, solar menjadi Rp12.119 per liter, gas LPG Rp19.579 per kilogram, dan Pertalite menjadi Rp12.665 per liter.
Menurut Sri Mulyani, dengan perubahan tersebut, arus kas Pertamina sejak awal tahun ini menjadi negatif karena harus menanggung selisih antara harga jual eceran dengan harga keekonomian dengan harga ICP di atas 100 dolar AS per barel.
“Tentu kalau dia (Pertamina) harus impor bahan bakar, dia (Pertamina) juga membayarnya dalam bentuk dolar. Ini yang menyebabkan kondisi keuangan Pertamina menurun,” ujar Sri Mulyani saat rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR, Kamis (19/5).
Saat ini, pemerintah tengah mengajukan asumsi dasar ekonomi makro yaitu perubahan ICP dari 63 dolar AS per barel menjadi kisaran 95 dolar AS per barel, kemudian menjadi 105 dolar AS per barel. Atas kenaikan proyeksi ICP dalam APBN 2022, pemerintah mengajukan tambahan subsidi energi sebesar Rp74,9 triliun, Rp71,8 triliun di antaranya untuk BBM dan LPG. Untuk kompensasi BBM dan LPG diperkirakan mencapai Rp324,5 triliun.
Abra Talattov setuju kebijakan Menteri Sri Mulyani untuk menambah anggaran subsidi bagi Pertamina dikarenakan BUMN ini tidak diberikan keleluasaan menyesuaikan harga di sisi lain harga jual jauh di bawah keekonomian.
Kendati pemerintah sudah mendapatkan lampu hijau untuk tambahan subsidi, lanjut Abra, tidak boleh dilupakan target pemerintah ubah mekanisme subsidi jadi subsidi tertutup. Kebijakan subsidi ini terhadap komoditas tidak bisa terus didiamkan. Tambahan subsidi saat ini saja karena Indonesia mendapatkan windflow dari tax sehingga dari sisi anggaran fiskal memungkinkan.
“Tapi kalau dibiarkan semisal APBN nantinya nggak bisa tutup subsidi, jadi bom waktu juga. Pemerintah tak bisa terlena harus percepat reformasi subsidi energi. Jadi nanti tambahan subsidi kompensasi bisa ditekan,” ujarnya.
Baca juga: Sri Mulyani usulkan tambahan subsidi energi Rp74,9 triliun di 2022
Baca juga: Pengamat nilai pemberian kompensasi selisih harga BBM perlu regulasi
Baca juga: Menkeu: Beban subsidi dan kompensasi capai Rp443,6 triliun pada 2022
Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022