Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Australia diharapkan memiliki itikad baik, sehingga permasalahan 43 warga Papua yang mencari suaka politik di Australia tidak menjadikan kasus Papua menjadi agenda internasional.
Pernyataan tersebut dikemukakan oleh pengamat politik internasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Alfitra Salam, kepada ANTARA di Jakarta, Selasa.
"Menurut saya karena kita negara bertetangga, maka Australia hendaknya mempunyai itikad baik agar jangan sampai masalah 43 warga Papua itu menjadi alasan untuk membawa kasus Papua menginternasional," kata Alfitra.
Dia mengatakan kasus tersebut hendaknya segera dicari penyelesaiannya agar tidak berlarut.
"Kan sudah ada definisi jelas mengenai pengungsi dari PBB, jadi bisa dirujuk ke sana," katanya.
Menurut dia, berdasarkan hal itu dapat segera diputuskan bagaimana status 43 warga Papua untuk kemudian dicari penyelesaiannya lebih lanjut.
Terkait permasalahan 43 warga Papua itu, Menteri Luar Negeri Australia, Alexander Downer di Jakarta, Senin (27/2) mengatakan bahwa Pemerintah Australia belum dapat memastikan nasib 43 warga Papua yang meminta suaka Australia.
"Masih dalam proses screening, saya belum dapat memastikan berapa lama proses yang harus dilalui oleh 43 orang itu karena Australia memiliki proses hukum tertentu mengenai pengungsi," kata Downer.
Dia meminta agar masyarakat Indonesia memahami bahwa Australia memiliki hukum domestik untuk semua orang yang meminta suaka ke Australia yang tentu saja tidak bertentangan dengan Konvensi PBB tahun 1951 tentang pengungsi.
"Saya belum dapat memastikan apa keputusan atas 43 orang tersebut karena prosesnya masih panjang. Tetapi, Australia tetap pada komitmen untuk mendukung kebijakan yang diambil Presiden Yudhoyono, termasuk pada kasus Papua," katanya.
Hal senada juga dikemukakan oleh Menlu Hassan Wirajuda yang ditemui seusai acara makan pagi dengan Alexander Downer.
"Menlu Downer mengatakan bahwa hukum domestik Australia memerlukan waktu. Jadi agak bertele-tele karena kalaupun proses itu tidak memuaskan pencari suaka, maka ada proses banding pada berbagai tingkatan di Australia. Dengan kata lain, proses yang cukup memakan waktu, karena itu dalam pertemuan tadi juga kepada saya disampaikan untuk kita mengantisipasi proses yang bisa jadi lama," katanya.
Saat ditanya mengenai permintaan Indonesia atas akses konsuler, Hassan mengatakan bahwa sebetulnya akses yang terbatas sudah diberikan, yaitu pembicaraan antara dua warga asal Papua yang ingin bicara dan memang sudah bicara melalui telpon.
"Tetapi karena pembicaraan telepon tidak begitu memuaskan, jadi kita sedang mencoba lagi apakah peluang untuk akses langsung dimungkinkan. Ada keterbukaan pemerintah Australia," katanya.
Sementara itu, Juru Bicara Departemen Luar Negeri, Desra Percaya mengatakan bahwa ada dua kemungkinan yang dapat terjadi pada 43 Papua tersebut, yaitu permohonan suakanya diterima atau ditolak.
Kalau diterima sebagai suaka politik, kata dia, maka akan ada pemberian visa berupa protection visa untuk tiga tahun yang setelah 2,5 tahun akan dikaji ulang.
"Sedangkan jika ditolak maka akan ada beberapa tahap yang memang akan panjang sekali, magistrate, federal court, high court, yang bisa berlangsung tahunan," katanya.
Informasi terakhir menyebutkan saat ini 43 warga Papua pencari suaka itu masih berada pusat penahanan imigrasi di Pulau Christmas dengan status sebagai tahanan, namun mereka diijinkan untuk tinggal sementara di dalam masyarakat di Pulau Christmas. (*)
Copyright © ANTARA 2006