"Sejujurnya kami meragukan jika Fed ke depan akan terus memompa suku bunga acuan hingga 2,5 persen sampai 3,0 persen. Namun kita tetap harus bersiap diri," ucap Said dalam Rapat Kerja bersama Menteri Keuangan di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, suku bunga acuan yang tinggi akan memukul kredit properti, termasuk kredit konsumsi barang lainnya di Negeri Paman Sam.
Selain itu, kenaikan suku bunga tinggi tidak otomatis memberi sugesti kepada warga Amerika untuk menyimpan uangnya melalui deposito di perbankan, begitu pula dengan investor AS yang sudah terbiasa dengan suku bunga rendah.
Said menjelaskan kenaikan suku bunga acuan Fed sebesar 50 basis poin menjadi 0,75 persen hingga 1,0 persen pada pertemuan bulan ini sudah memberikan dampak yang cukup signifikan kepada Indonesia, khususnya melalui nilai tukar rupiah.
"Dalam Undang-Undang APBN rupiah ditargetkan sebesar Rp14.300 per dolar AS, sedangkan beberapa hari terakhir rupiah ada di atas Rp14.500 per dolar AS dan berpotensi terus melemah," ungkapnya.
Tak hanya berdampak pada mata uang Garuda, ia menilai kenaikan suku bunga Otoritas Moneter AS tersebut pun menekan mata uang global lainnya.
Dengan demikian, normalisasi kebijakan moneter yang terjadi di Negeri Adidaya menjadi suatu dilema kebijakan yang sangat pelik lantaran di satu sisi Fed membutuhkan kebijakan yang dapat meredam kenaikan inflasi yang cepat.
Namun, lanjut Said, di sisi lain kebijakan moneter Fed juga harus akomodatif dalam menjaga momentum pemulihan, baik di AS maupun dunia.
Baca juga: Rupiah melemah tertekan pernyataan hawkish pejabat The Fed
Baca juga: Dolar melemah, bank sentral AS naikkan suku bunga sesuai perkiraan
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022