Jakarta (ANTARA) - Kebebasan pers masih menjadi elemen sangat penting dalam kehidupan berdemokrasi karena pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas demokrasi.
Dengan kebebasan pers, media massa dapat menyampaikan beragam informasi untuk mendukung warga negara berperan dalam demokrasi.
Di era digital, teknologi digital dan kebangkitan platform daring telah mengubah cara manusia memproduksi, berbagi, dan mengonsumsi berita.
Kebebasan pers saat ini sedang menghadapi berbagai tantangan di era digital, baik yang diakibatkan oleh faktor eksternal maupun internal di kalangan pers itu sendiri.
Hal tersebut diungkapkan dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Papua Nahria dalam diskusi bertajuk "Press Freedom in the Digital Era", Rabu (18/5), secara virtual.
Memperingati hari kebebasan pers dunia atau World Press Freedom, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia mengadakan diskusi yang membahas kebebasan pers di era digital.
Tantangan kebebasan pers di era digital adalah kemunculan media sosial yang masif, banjir informasi dan bergesernya motivasi dalam membuat media.
Selain itu, kebebasan pers mendapat tantangan dengan terjadinya kekerasan terhadap jurnalis atau media dalam bentuk baru, seperti doxing, flayer, peretasan situs berita, dan penyebaran data pribadi di media sosial.
Munculnya media siluman dan tidak terverifikasi yang menggunakan platform web gratis, seperti Blogspot atau Wordpress, dan regulasi pers yang belum efektif bagi media daring juga menjadi tantangan tersendiri.
Nahria mengatakan kebebasan pers di daerah yang rawan konflik seperti di Papua belum berjalan dengan baik.
Bentuk tindak kekerasan yang dialami jurnalis di Papua pada 2021-2022 adalah kekerasan seksual berbasis gender, ancaman, teror dan intimidasi, kata dia.
Berdasarkan data dari Dewan Pers, nilai indeks kebebasan pers di Papua pada 2021 adalah 68,87 dan berada di peringkat ke-33 dari 34 provinsi.Menurut Reporters Without Borders (RSF), skor indeks kebebasan pers Indonesia pada 2022 adalah 49,27 (kurang bebas) dan berada di peringkat ke-117 dari 180 negara yang diteliti. Pada 2021, skor indeks kebebasan pers Indonesia 62,6 dan ada di peringkat ke-113 dari 180 negara.
Potret kebebasan pers Indonesia menurut RSF itu berbeda dengan penilaian Dewan Pers. Pada 2021, skor indeks kebebasan pers nasional pada 2021 adalah 76,02 atau naik dari 75,27 pada 2020.
Nahria mengatakan perjalanan mewujudkan kebebasan pers sehingga benar-benar menjadi bagian tak terpisahkan dari tatanan masyarakat berbangsa dan bernegara membutuhkan waktu yang panjang dan dihadapkan pada berbagai tantangan dan hambatan.
Terlebih lagi pada posisi jurnalis di era digital, di mana industri pers kian berkembang di tengah kepungan informasi yang membludak dan beragam tantangan digital yang harus disikapi secara profesional sehingga dapat menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang berkualitas.
“Dengan era digital ini muncul citizen journalism. (Dengan) adanya citizen ini, ada efisiensi tenaga kerja yang terjadi di sektor jurnalistik,” kata dia.
Ia mengatakan era digital memberikan sesuatu yang potensial dalam memajukan kebebasan berekspresi. Masyarakat menjadi bebas dalam berekspresi dan membagikan pengalaman melalui media sosial.
“Era digital memberikan kemudahan akses informasi,” kata Nahria, seraya menambahkan bahwa kebebasan pers harus menjamin hak publik menerima informasi.
Kebebasan pers, lanjut dia, harus diperjuangkan dengan tanggung jawab untuk memperoleh dan menyajikan berita yang benar kepada publik.
Karena kebebasan pers bukan hanya untuk kepentingan jurnalis, tetapi juga berkaitan dengan hak-hak asasi publik untuk mendapatkan informasi yang baik, kata dia.
Serangan Digital
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Sasmito Madrim mengatakan ancaman terhadap jurnalis berkembang menjadi serangan digital.
Era digital seperti dua mata pisau, kata dia. Di satu sisi era digital mempermudah jurnalis, namun di sisi lain menjadi ancaman bagi jurnalis dan perusahaan media.
"Serangan itu jauh lebih mudah melalui serangan digital, trennya berubah di serangan digital. Kemudian, (jurnalis) lebih mudah dikriminalisasi karena adanya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE),” ujar Sasmito.
Serangan digital, kata dia, juga memberikan dampak lain berupa kerugian ekonomi yang tinggi dan trauma.
“Serangan digital ini dampaknya sangat luar biasa bagi jurnalis dan perusahaan medianya. Ketika aset digital perusahaan media siber diambil alih, kemudian kontennya dihapus, itu bisa dibayangkan kerugiannya berapa miliar atau ratusan juta ketika kontennya dihapus. Sehingga, itulah pentingnya ada back up data,” katanya.
Serangan digital juga menimbulkan trauma yang tidak hanya dialami oleh korban, tetapi juga keluarga korban.
Jenis serangan yang dialami jurnalis dan media yaitu doxing (tindakan mempublikasikan informasi pribadi atau identitas tentang individu atau organisasi di internet), peretasan dan penolakan layanan terdistribusi (distributed denial-of-service/DDos).
“Namun era digital juga memberikan manfaat, seperti memudahkan kerja jurnalis dan lebih mudah berkolaborasi,” kata Sasmito.
Dalam jurnalisme di era digital, lanjut dia, AJI mendorong regulasi terkait serangan digital kepada jurnalis.
“Karena serangan digital tidak masuk dalam regulasi,” kata dia.
AJI juga akan melakukan penguatan pemahaman aparat penegak hukum mengenai serangan digital terhadap jurnalis.
“Kemudian, memperkuat keamanan jurnalis dan membangun kerja sama dengan laboratorium digital. AJI belum memiliki SDM yang paham mengenai digital forensik, padahal digital forensik itu dibutuhkan untuk menemukan siapa pelaku dari serangan digital,” kata dia.
Menurut data AJI, ada 43 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang tercatat pada 1 Januari-25 Desember 2021.
Jenis kekerasan paling banyak berupa teror dan intimidasi (9 kasus), kekerasan fisik (7) dan pelarangan liputan (7).
AJI juga mencatat adanya serangan digital (5), ancaman (5) dan penuntutan hukum (4), baik secara pidana maupun perdata.
Dari sisi pelaku kekerasan, polisi menempati urutan pertama dengan 12 kasus, kemudian orang tidak dikenal (10), aparat pemerintah (8), warga (4) dan pekerja profesional (3), sedangkan perusahaan, TNI, jaksa dan organisasi kemasyarakatan masing-masing satu kasus.
Tentang Papua, Sasmito mengatakan provinsi itu hingga kini masih belum terbuka untuk jurnalis asing.
Data AJI yang diperoleh dari Kementerian Luar Negeri menunjukkan ada sekitar 69 permohonan yang diajukan jurnalis asing ke wilayah Papua mulai pada 2016-2022, 14 di antaranya ditolak dan 55 permohonan disetujui.
Dari 14 permohonan yang ditolak, sembilan di antaranya tercatat pada 2019.
“Pada 2019, ada demo besar-besaran anti rasisme di seluruh wilayah Papua,” kata dia.
Ia mengatakan pihaknya telah melakukan konfirmasi ke Kementerian Luar Negeri, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan serta Kantor Staf Presiden. Namun, hingga saat ini belum ada alasan yang jelas terkait penolakan itu.
Pada 2019, pemerintah juga memutus akses internet di wilayah itu yang malah menghambat jurnalis dan publik untuk mendapatkan informasi.
Akibatnya, masyarakat termakan hoaks dan mendapat informasi dari mulut ke mulut, kata Sasmito.
Dukungan AS
Dalam kesempatan yang sama, Political Officer dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Mark Neighbors, mengatakan pentingnya kemerdekaan pers di seluruh wilayah Indonesia.
“Kita sangat mendukung pers yang bebas tidak hanya di Jakarta, namun juga di seluruh wilayah Indonesia. Memberikan akses kepada jurnalis asing untuk melakukan peliputan di Papua. Semua orang hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di Papua. Jadi harus ada transparansi dan akuntabilitas. Itu sesuatu yang penting. Ini adalah bagian dari demokrasi,” kata dia.
Ia mengatakan internet menjadi bagian dari kehidupan manusia. Orang menjadi lebih mudah mendapatkan informasi di mana pun dan dari belahan dunia mana pun.
“Ketika dibandingkan 20-30 tahun yang lalu, saat mendapatkan informasi begitu susah karena belum adanya kemajuan teknologi, dulu kita hanya ada telepon, mesin faks, sehingga penyebaran informasi menjadi lebih lambat,” kata dia.
Wakil Atase Pers Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Nicholas Geisinger, menekankan pentingnya masyarakat untuk memahami kebebasan pers.
Ia mengatakan pers sebagai pilar keempat demokrasi melengkapi eksekutif, legislatif, dan yudikatif dan pers yang bebas mendukung prinsip-prinsip demokrasi.
Amerika Serikat sangat berkomitmen untuk melindungi pers yang bebas yang merupakan pilar dari demokrasi.
Pemberian informasi dan pertukaran informasi secara terbuka menjadi sesuatu yang penting bagi Amerika Serikat dan juga Indonesia, kata Geisinger.
Baca juga: Ilmuwan: Kebebasan pers hadapi berbagai tantangan di era digital
Baca juga: AJI: Ancaman terhadap jurnalis berkembang jadi serangan digital
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2022