Jakarta (ANTARA) - Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI Ahmad Taufan Damanik mengatakan penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu tergantung dari kemauan atau keinginan politik (political will) seorang Presiden.
"Saya berpendapat yang paling utama itu adalah kemauan politik dari seorang Presiden," katanya saat dihubungi di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, jika seorang Presiden mendesak Jaksa Agung untuk menyelesaikan berbagai kasus HAM berat, maka semuanya akan jelas dan tuntas.
Baca juga: Berkas perkara tersangka perkara HAM berat Paniai dinyatakan lengkap
Sebagai contoh, penanganan kasus pelanggaran HAM berat Paniai Papua. Sebelum tim penyidik dibentuk dan naik ke tahap penyidikan, Presiden terlebih dahulu memerintahkan Jaksa Agung untuk menyelesaikannya.
Ahmad Taufan mengatakan desakan dari Presiden ke Jaksa Agung tidak lepas dari lobi-lobi dan upaya meyakinkan Presiden oleh Komnas HAM.
"Akhirnya kasusnya naik ke penyidikan," kata dia.
Untuk itu, ia mengajak semua pihak menunggu kelanjutan proses di pengadilan. Namun, apabila di meja hijau sama seperti kasus sebelumnya, maka bisa saja terduga pelaku dibebaskan.
Baca juga: Kejagung limpahkan berkas perkara tersangka kasus Paniai ke JPU
Baca juga: Kejagung: Tersangka pelanggaran HAM di Paniai purnawirawan TNI
Hal tersebut disampaikan mengingat atau belajar dari "political will" mantan Presiden Gus Dur bersama Jaksa Agung saat itu Marzuki Darusman. Ketika itu, ada kasus pelanggaran HAM berat yang naik ke meja pengadilan. Namun, di pengadilan terduga pelaku dibebaskan.
"Jadi, pengadilan juga penting didorong agar menegakkan keadilan bagi korban," ujarnya.
Oleh karena itu, sambung dia, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat sebetulnya bukan masalah kewenangan Komnas HAM terbatas sampai di penyelidikan saja. Akan tetapi, lebih kepada kemauan politik dari seorang Presiden.
Sebab, katanya, kalaupun wewenang penyidikan diberikan kepada Komnas HAM, penuntutan tetap berada pada Jaksa Agung dan pengadilan atau ranahnya Mahkamah Agung (MA).
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2022