Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Cq Kementerian BUMN membantah ada tekanan dari pihak Amerika Serikat (AS) terkait penyelesaian Blok Cepu. "I swear', tidak ada tekanan dari siapapun untuk menunjuk ExxonMobil Oil Indonesia sebagai pengelola Cepu," ujar Meneg BUMN, Sugiharto, kepada pers usai Rapat Gabungan dengan Anggota DPR Komisi VI dan VII, di Gedung DPR/MPR, yang berakhir Selasa dini hari. Selain Menneg BUMN, rapat juga dihadiri Menteri Energi Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, dan Menperin Fahmi Idris, Dirut PT Pertamina, seta Dirut BUMN Pupuk. Menurut Sugiharto, dalam pengelolaan Blok Cepu, pemerintah masih tetap berpegang pada kesepakatan tiga menteri, yaitu Meneg BUMN, Menko Perekonomian, dan Menteri ESDM, yang ditetapkan pada 19 September 2005 yaitu semangat pengoperasian bersama atau "joint operatorship". Ia menjelaskan saat ini Tim Negosiasi belum membuat kesimpulan karena masih dalam tahap negosiasi. Namun, jika hingga akhir Februari belum ada kesepakatan, maka pemerintah akan mengambil langkah konkret untuk mempercepat pengoperasian Cepu. "Rencananya pemerintah (Kementerian BUMN bersama Departemen ESDM, akan mendengarkan kemajuan negosiasi akhir Tim Negosiasi, pada Rabu (1/3)," katanya. Sugiharto menegaskan sesungguhnya dari poin-poin yang dibahas selama ini, kemajuannya sudah cukup tinggi, hanya saja dirasa perlu mengambil keputusan yang memang perlu waktu. "Ini bukan soal dukung-mendukung siapa yang menjadi operator. Dukungan hanya kepada RI," kata Sugiharto. Kalau Blok Cepu tidak dioperasikan yang rugi adalah pemerintah, mengingat saat ini pemerintah butuh minyak dan gas agar subsidi BBM dapat diperkecil. "Sekarang, yang penting adalah bagaimana mengorganisasi joint operatorship, sehingga terjadi "check and balance" antara Pertamina dan Exxon," katanya. Realistis Terkait desakan DPR agar PT Pertamina sebagai operator pertama pada Cepu, Sugiharto mengatakan bahwa dirinya tidak ingin memberikan kesimpulan. "Nomor satu yang bela Pertamina dari awal adalah saya, namun kita harus realistis bahwa selama ini produksi Cepu tersandera oleh 'dispute' yang terjadi," tambah Sugiharto. Untuk itu, harus dilihat juga kemampuan operator, karena akan berisiko jika sebuah perusahaan kita percayakan sendiri mengelola tetapi ternyata gagal. "Jika gagal, tentu yang dirugikan paling besar adalah pemerintah, karena bagian terbesar dari bagi hasil itu adalah milik pemerintah, bukan milik operator," katanya. Lebih lanjut dikatakan Sugiharto saat ini tidak bisa mengatakan posisi Pertamina atau Exxon sebagai operator dalam "joint operatorship". "Keduanya setara atau fifty-fifty. Hanya saja bagaimana membagi kekuasaan. Ini yang masih dipertentangakn," ujarnya. Menurut Sugiharto, dalam pengoperasian Blok Cepu yang penting dapat diketahui parameternya, antara lain dilihat sudut pembiayaan atau kecukupan keuangan, teknologi, termasuk dukungan logistik. "Namun, salah satu yang menyebabkan tarik menarik dalam kontrak penetapan `joint operatorship` adalah mengenai elemen detilnya, yaitu menetapkan siapa dari Pertamina maupun Exxon yang menjadi pemimpinnya," ujar Sugiharto. (*)

Copyright © ANTARA 2006