Port Moresby (ANTARA News) - Politik Papua Nugini dalam keadaan kacau yang belum pernah terjadi sebelumnya Rabu dimana dua pemimpin yang bersaing mengklaim sebagai perdana menteri, dan dua orang bertindak sebagai gubernur jenderal negara Pasifik yang kaya sumber daya alam itu.
Beberapa jam sesudah Gubernur Jenderal Michael Ogio melantik pemerintahan perdana menteri veteran Sir Michael Somare, rivalnya Peter O'Neill memberhentikan Ogio dan menggantikannya dengan orang tunjukan baru yang dengan segera melantik dirinya sebagai pemimpin, lapor AFP.
Pada puncak krisis politik tersebut, sebuah gempa bumi berkekuatan 7,1 SR mengguncang bangungan-bangunan dan memaksa orang-orang berlarian ke jalan-jalan di negara miskin itu, kabarnya hantaman persis pada saat seorang anggota parlemen mengatakan Gedung Parlemen tersebut dikutuk.
Kekacauan itu mengakibatkan para birokrat di Papua Nugini -- sebuah negara yang digambarkan oleh para diplomat Australia sebagai "blot yang secara total disfungsional" menurut sebuah memo yang dirilis Wikileaks -- tidak pasti kepada siapa pastinya mereka bekerja.
"Saya hanya ingin mematikan telepon dan pergi," kata seorang pejabat yang meminta tidak disebutkan jati dirinya kepada AFP.
Baik Somare, 75, dan penantangnya O'Neill, 46, mengklaim sebagai pemimpin sah negara pulau Pasifik yang bergunung-gunung dengan 800 bahasa dan terlibat dalam krisis konstitusional terburuknya sejak kemerdekaan pada 1975.
"Faksi O'Neill yang tengah bersidang di parlemen, mereka mencopot gubernur jenderal Sir Michael Ogio dari jabatannya dan mereka memilih (Jeffrey) Nape sebagai pejabat gubernur jenderal," kata seorang pejabat pemerintah kepada AFP.
Nape, ketika itu menjadi Ketua DPR dan seorang pendukung setia O'Neill, kemudian melantik O'Neill sebagai perdana menteri lagi, kata pejabat, yang tidak mau disebutkan namanya, kepada AFP dari Gedung Parlemen.
Ratu Elizabeth II adalah kepala negara Papua Nugini, negara anggota Persemakmuran, dan gubernur jenderal adalah wakilnya.
Somare yang lanjut usia, telah memimpin negara yang luas dan sering rusuh selama hampir separuh masa 36 tahun usia kemerdekaannya dan dikenal sebagai "Pemimpin Hebat", bersembunyi di kantor Dewan Eksekutif Nasional Rabu malam.
Namun nampaknya dia dikunci dalam kantor resmi Perdana Menteri, selagi pesaingnya yang lebih muda O'Neill, yang pernah menjadi menteri keuangan di salah satu pemerintahan Somare, tetap terkepung oleh sekutu-sekutu di Gedung Parlemen.
"Terlepas dari peristiwa-peristiwa dua hari silam saya yakin bahwa akal sehat akan menang," kata Somare dalam sebuah pernyataan sebelumnya Rabu.
Meskipun tidak ada laporan kerusuhan besar, O'Neill dan para menterinya menyerbu barikade yang dijaga polisi bersenjata di Gedung Pemerintah untuk memaksa pertemuan dengan Ogio Selasa.
Somare didudukkan kembali sebagai perdana menteri Senin ketika Mahkamah Agung memutuskan pemilihan O'Neill untuk jabatan tersebut oleh rekan-rekan anggota dewan pada Agustus, ketika pemimpin veteran itu berhalangan karena sakit, tidak konstitusional.
Namun parlemen menolak menerima keputusan tersebut.
Papua Nugini miskin itu tengah berjuang untuk membuang reputasinya sebagai negara yang secara politis disfungsional dan sering tak berhukum dengan sumberdaya alam yang siap mendatangkan uang, namun krisis tersebut tidak dapat menghalau kesan itu.
Pusat pengembangan sumberdaya alamnya adalah investasi 15 miliar dolar Australia yang dipimpin oleh raksasa ExxonMobile AS untuk mengembangkan proyek gas alam cair.
James Wilson, analis sumberdaya alam senior di RBS Morgans di Perth, mengatakan para penambang yang berbisnis di negara itu akan jera, tetapi tidak terlalu khawatir, dengan perkembangan itu.
"Perusahaan sumberdaya alam akan mengawasi dengan ketat namun pemerintah, siapapun yang berkuasa, tidak ingin mengambil risiko dengan proyek-proyek besar ini," katanya.
"Papua Nugini membutuhkan investasi asing dan saya pada umumnya tidak melihat adanya masalah besar apapun, meskipun beberapa investasi baru mungkin tertunda."
Menteri Pertahanan Australia Stephen Smith mengatakan dia berharap kontroversi tersebut diselesaikan secara damai, dan mengesampingkan kemungkinan intervensi Canberra.
"Kami ingin permasalahan ini selesai sesuai dengan konstitusi Papua Nugini," katanya. (K004)
Penerjemah: Kunto Wibisono
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011