Beijing/Hong Kong (ANTARA) - Pasar saham Asia mengikuti aksi jual Wall Street yang curam pada perdagangan Kamis pagi, karena investor resah atas kenaikan inflasi global, kebijakan nol-COVID China dan perang Ukraina, sementara mata uang safe-haven dolar mempertahankan sebagian besar kenaikannya yang kuat semalam.

Indeks MSCI dari saham Asia Pasifik di luar Jepang merosot 2,0 persen pada awal jam perdagangan Asia, penurunan harian pertama dalam seminggu. Indeks Nikkei Jepang juga tergelincir 2,4 persen.

Indeks saham Australia yang sarat sumber daya menurun 1,5 persen, saham Hong Kong terpangkas 2,6 persen dan saham-saham unggulan China daratan melemah 1,0 persen.

Semalam di Wall Street, laporan pendapatan dari raksasa ritel memperburuk sentimen, dengan Target Corp memperingatkan margin yang lebih besar terkena karena kenaikan biaya bahan bakar dan pengiriman ketika melaporkan laba kuartalannya telah berkurang setengahnya. Sehari sebelumnya, Walmart memperingatkan tekanan margin yang serupa.

Saham Target Corp. anjlok 24,88 persen, persentase penurunan satu hari terbesar sejak kehancuran pasar saham "Black Monday" pada 19 Oktober 1987. Pada Rabu (18/5/2022), Nasdaq jatuh hampir 5,0 persen, sementara S&P 500 kehilangan 4,0 persen.

"Kenaikan pada Selasa (17/5/2022) terbukti 'terlalu optimis', sehingga keraguan diri yang berasal dari salah penilaian hanya membuat pedagang semakin sulit mengklik tombol jual," kata Hebe Chen, analis pasar di IG.

"Harus dikatakan bahwa kekhawatiran terhadap inflasi tidak pernah hilang sejak kita melangkah ke 2022, namun, sementara hal-hal belum mencapai titik tidak bisa kembali, mereka tampaknya menuju ke arah 'di luar kendali'. Itu, mungkin adalah bagian yang paling mengkhawatirkan bagi pasar," katanya.

Dolar AS, yang telah reli karena penurunan selera risiko, menghentikan kenaikannya pada Kamis, dengan greenback melemah 0,05 persen terhadap sekeranjang mata uang utama lainnya. Yen Jepang, di sisi lain, turun 0,2 persen terhadap dolar.

Inflasi Inggris melonjak ke tingkat tahunan tertinggi sejak 1982 karena tagihan energi melonjak, sementara inflasi Kanada naik menjadi 6,8 persen bulan lalu, sebagian besar didorong oleh kenaikan harga makanan dan tempat tinggal.

Bilal Hafeez, CEO perusahaan riset MacroHive yang berbasis di London, mengatakan ada bias yang kuat terhadap aset safe-haven saat ini, terutama uang tunai.

"Mungkin ada kenaikan jangka pendek dalam ekuitas seperti beberapa hari terakhir, tetapi gambaran besarnya adalah era imbal hasil rendah telah berakhir, dan kami sedang bertransisi ke lingkungan suku bunga yang lebih tinggi," Hafeez mengatakan kepada Reuters Global Markets Forum. "Ini akan menekan semua pasar yang diuntungkan dari imbal hasil rendah - terutama ekuitas."

Obligasi pemerintah AS reli semalam dan stabil di Asia, meninggalkan imbal hasil acuan pada obligasi pemerintah AS 10-tahun di 2,8931 persen.

Imbal hasil dua tahun, yang naik bersama ekspektasi pedagang terhadap suku bunga dana Fed yang lebih tinggi, menyentuh 2,6715 persen dibandingkan dengan penutupan AS sebesar 2,667 persen.

Minyak berjangka bervariasi pada Kamis pagi. Minyak mentah AS turun 0,2 persen menjadi diperdagangkan di 109,38 dolar AS per barel. Minyak mentah berjangka Brent menguat 0,26 persen menjadi diperdagangkan di 109,4 dolar AS per barel.

Emas sedikit lebih rendah dengan harga spot diperdagangkan di 1.814,89 dolar AS per ounce.

Baca juga: Wall St berakhir turun tajam, Dow Jones turun lebih dari 1.100 poin
Baca juga: Dolar naik, sentimen risiko pudar setelah pernyataan "hawkish" Powell
Baca juga: Emas jatuh, dolar menguat setelah Powell berikan nada lebih "hawkish"

Pewarta: Apep Suhendar
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022