Jakarta (ANTARA) - Dokter dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) dr. Rarsari Soerarso, SpJP(K) menilai bahwa kesadaran masyarakat mengenai kondisi gagal jantung di Indonesia masih rendah, termasuk pada orang dengan faktor risiko, pihak pemerintah maupun tenaga kesehatan di faskes tingkat satu.
“Kalau dibilang beban gagal jantung terhadap negara sebetulnya sangat besar. Masalahnya, awareness-nya (kesadaran) itu sangat kecil,” ujar dokter yang tergabung dalam Kelompok Kerja (Pokja) Gagal Jantung dan Kardiometabolik di PERKI itu dalam wawancara bersama media secara virtual, Rabu.
Ia mengatakan bahwa tenaga kesehatan yang bertugas di fasilitas kesehatan (faskes) tingkat pertama, seperti Puskesmes, penting untuk memperbarui pengetahuan mengenai deteksi dan diagnosis gagal jantung sebab terkadang gejalanya tidak disadari.
Salah satu gejala khas gagal jantung yaitu sesak nafas saat istirahat atau aktivitas. Pada kasus ibu hamil bahkan lebih sulit membedakan antara sesak nafas saat berada di periode terakhir kehamilan atau sesak nafas karena gejala gagal jantung.
“Kalau kita bicara tentang sesak nafas, mungkin dipikirnya penyakit paru-paru, TBC, bronkitis, padahal banyak kasus mungkin itu adalah tanda dari gagal jantung,” kata dokter yang akrab disapa Riri itu.
Gagal jantung merupakan kondisi abonormalitas dari struktur jantung atau fungsi yang menyebabkan kegagalan dari jantung untuk mendistribusikan oksigen ke seluruh tubuh.
Selain sesak nafas, gejala tipikal lainnya termasuk ortopnea atau tidak nyaman saat bernapas sambil berbaring, cepat merasa lelah, edema tungkai atau bengkak pada pergelangan kaki, dan sebagainya.
Berdasarkan data Indonesian Chronic Heart Failure Registry (Anchure) pada 2018 dari PERKI, terdapat 2.115 pasien gagal jantung dari 10 faskes di Indonesia. Dari total penderita tersebut, 58 persen penderita merupakan usia produktif yakni antara kurang dari 40 tahun hingga 59 tahun.
Data PERKI pada 2018 juga menunjukkan bahwa 17,2 persen pasien gagal jantung di Indonesia meninggal saat perawatan rumah sakit dan 11,3 persen meninggal meninggal dalam satu tahun perawatan.
Angka-angka tersebut, menurut Riri, jauh dari kata terkendali. Sementara klinik gagal jantung di pusat kota dari hari ke hari terdapat peningkatan pasien gagal jantung yang dirujuk dari fasilitas kesehatan dari daerah-daerah.
“Kalau dari hari ke hari praktik klinik, ya, makin hari makin banyak, karena mungkin dulu nggak ketahuan sekarang baru ketahuan. Ketahuannya juga sudah agak telat di daerah-daerah, jadi dikirim ke kami pun makin banyak. Dan yang nggak enaknya, kondisi pasien sudah relatif stadium dua ke atas,” kata Riri.
Dokter yang berpraktik di RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita itu menganjurkan agar melakukan deteksi dini bagi orang tanpa kormobid saat berada di usia 30 tahun ke atas.
“Sering-seringlah cek darah. Minimal tensi darah. Cek kolesterol, cek gula, itu rutin, katakanlah setahun sekali. Karena itu kita bisa mendeteksi faktor risiko untuk terjadinya penyakit jantung koroner, faktor risiko darah tinggi, dan nanti ke belakangnya bisa mencegah gagal jantung,” jelas Riri.
Tak hanya usia 30-an, orang dengan faktor risiko di usia 20-an pun perlu waspada terhadap kemungkinan kondisi gagal jantung.
Riri mengatakan bahwa banyak penyebab yang bisa menjadi kondisi gagal jantung dan tidak ada yang spesifik, namun ia mencatat paling sering terkait dengan penyakit jantung koroner.
Faktor risiko gagal jantung yang Riri menggarisbawahi lainnya juga termasuk hipertensi, kolesterol, diabetes, obesitas, konsumsi alkohol berlebihan, garam berlebihan, merokok, dan sebagainya.
Baca juga: Pasien sakit jantung perlu perhatian khusus saat berpuasa
Baca juga: Gagal jantung hingga diabetes, dampak Omicron pada anak
Baca juga: Jangan "mager", hindari gagal jantung
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2022