“Karena serangan itu jauh lebih mudah melalui serangan digital, tren nya berubah di serangan digital. Kemudian, lebih mudah dikriminalisasi karena adanya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE),” ujar Sasmito Madrim dalam diskusi kebebasan pers di era digital yang diselenggarakan Kedubes AS secara virtual, Rabu.
Selain itu, serangan digital memberikan dampak lain berupa kerugian ekonomi yang tinggi dan trauma.
"Serangan digital ini dampaknya sangat luar biasa bagi jurnalis dan perusahaan medianya. Ketika aset digitalnya perusahaan media siber diambil alih kemudian konten-nya dihapus itu bisa dibayangkan kerugiannya berapa miliar atau ratusan juta ketika konten-nya dihapus, sehingga itu pentingnya ada back up data," tutur Sasmito.
Serangan digital juga menimbulkan trauma yang tidak hanya dialami oleh korban, tetapi juga keluarga korban.
Baca juga: UKM dibayangi bahaya serangan siber
Baca juga: Perbankan diminta lindungi nasabah dari serangan siber
Jenis serangan yang dialami jurnalis dan media yaitu doxing (tindakan mempublikasikan informasi pribadi atau identitas tentang individu atau organisasi di internet), peretasan dan penolakan layanan secara distribusi (distribused denial-of-service/DDos).
"Namun, era digital juga memberikan manfaat seperti memudahkan kerja jurnalis, mampu menyusup ke dalam batasan pemerintah, dan lebih mudah berkolaborasi," ujar Sasmito.
Dalam jurnalisme di era digital, lanjut dia, AJI mendorong regulasi terkait serangan digital kepada jurnalis. "Karena serangan digital tidak masuk dalam regulasi," ucap dia.
AJI juga akan melakukan penguatan pemahaman aparat penegak hukum mengenai serangan digital terhadap jurnalis.
"Kemudian, memperkuat keamanan jurnalis dan membangun kerja sama dengan laboratorium digital. AJI belum ada SDM yang paham mengenai digital forensik, padahal digital forensik itu dibutuhkan untuk menemukan siapa pelaku dari serangan digital," kata dia.
Menurut data AJI, jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis yang tercatat sejak 1 Januari hingga 25 Desember 2021 mencapai 43 kasus.
Baca juga: Digitalisasi di Asia Tenggara dibayangi serangan siber
Jenis kekerasan paling banyak berupa teror dan intimidasi (9 kasus), kekerasan fisik (7 kasus) dan pelarangan liputan (7 kasus).
AJI juga mencatat masih terjadi serangan digital sebanyak 5 kasus, ancaman 5 kasus dan penuntutan hukum, baik secara pidana maupun perdata, 4 kasus.
Dari sisi pelaku kekerasan, polisi menempati urutan pertama dengan 12 kasus, kemudian orang tidak dikenal 10 kasus, aparat pemerintah 8 kasus, warga 4 kasus dan pekerja profesional 3 kasus.
Sementara itu, perusahaan, TNI, jaksa dan organisasi kemasyarakatan masing-masing 1 kasus.
Pewarta: Azis Kurmala
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2022