Mataram (ANTARA News) - Hakim karier yang mengabdi di Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat, memanfaatkan momentum sosialisasi penjaringan calon hakim agung, untuk "curhat" tentang realisasi nilai remunerasi untuk hakim yang baru 70 persen.

"Remunerasi yang kami terima baru 70 persen, belum lagi dana cek kesehatan yang kurang diperhatikan," kata Ali Makki, hakim karier yang masih menjabat Ketua Pengadilan Negeri (PN) Mataram, saat berdialog dengan anggota Komisi Yudisial periode 2010 - 2015 Dr Taufiqurrohman Syahuri SH MH, di Mataram, Senin.

Sosialisasi dan penjaringan Calon Hakim Agung (CHA) itu digelar di Gedung Fakultas Hukum Universitas Mataram (Unram), Senin, yang dilakukan Dr Taufiqurrohman Syahuri SH MH selaku anggota Komisi Yudisial periode 2010 - 2015.

Peserta sosialisasi merupakan kalangan akademisi yang berlatar belakang disiplin ilmu hukum, dan para hakim di wilayah NTB baik hakim Pengadilan Negeri (PN) maupun hakim Pengadilan Tinggi (PT) dan hakim Pengadilan Agama (PA).

Ali sempat membandingkan dengan peningkatan kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di instansi lain yang dalam beberapa tahun terakhir ini telah empat kali mengalami perbaikan pendapat.

Hakim karier itu pun mengajak anggota Komisi Yudisial untuk melihat langsung kondisi di rumah para hakim karier di daerah itu.

"Ini bagaimana Komisi Yudisial menyikapinya, bila perlu saya ajak ke rumah-rumah hakim, karena memang kondisinya seperti itu," ujarnya.

Selain "curhat", Ali juga menyoroti persyaratan menjadi hakim agung yakni usia minimal 45 tahun, namun tidak ada penegasan batas usia maksimal.

Menurut dia, tidak baik bagi sistem penegakan hukum jika hakim agung yang berasal dari hakim karier kemudian terpilih dan hanya bisa menjalankan tugas selama dua tahun kemudian pensiun, karena batasan usia hakim karier 65 tahun dan hakim agung 70 tahun.

Ali juga mengkhawatirkan terjadi pengukuhan hakim agung secara "instant" karena hakim agung dari kalangan non-karier tidak banyak pengalaman dalam menangani berkas perkara, sementara setiap tahun berkas perkara menumpuk.

"Penambahan hakim agung tentu untuk menyelesaikan berkas perkara yang menumpuk, maka yang menjadi hakim agung harus bisa menyelesaikan tumpukan perkara itu. Makanya harus yang berpengalaman," ujarnya.

Menanggapi keluhan remunerasi hakim karier itu, Taufiqurrohman membenarkan realiasi bertahap dana remunerasi untuk hakim karier yang belum 100 persen itu.

"Memang begitu, meski jaksa yang belakangan sudah 100 persen. Komisi Yudisial juga baru kemarin remunerasinya 100 persen," ujarnya.

Taufiqurrohman kemudian menyarankan Ali dan hakim karier lainnya untuk mengajukan "yudicial review" terhadap aturan agar pengertian pejabat negara itu termasuk hakim, dengan harapan MK akan memberi penafsiran pejabat negara itu termasuk hakim," ujarnya.

Program remunerasi itu merupakan bagian dari rancangan besar pemerintah dalam mengimplementasikan program reformasi birokrasi periode 2007-2025.

Pemerintah bahkan menyediakan anggaran 1,46 triliun rupiah pada 2007 dan sekitar 6 triliun rupiah pada tahun 2008 untuk penataan struktur remunerasi tersebut.

Pada Juli 2008 pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden nomor 19 tahun 2008 tentang Tunjangan Khusus Kinerja Hakim dan Pegawai Negeri di lingkungan MA dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya memberikan tunjangan kepada para hakim sebesar Rp4,5 juta sampai Rp31,1 juta.

Mengenai batasan usia maksimal calon hakim agung yang tidak ditetapkan, Taufiqurrohman mengatakan, meskipun tidak ada batasannya, namun Komisi Yudisial tidak akan meloloskan kandidat calon hakim agung yang usianya mendekati 70 tahun.

"Meskipun tidak dibatasi, kami juga tidak akan memilih calon hakim agung tinggal dua tahun pensiun. Minimal lima tahun sama seperti masa tugas anggota DPR yang lima tahun," ujarnya.
(A058/M025)

Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2011