... Kalau jadi kami digusur dan itu tidak kami paham kapan dilakukan, mau ke mana lagi kami tinggal?...
Semarang (ANTARA News) - Nama Christian Siagian mungkin terasa asing di telinga masyarakat umum, tetapi bagi atlet difabel, nama ini cukup melegenda. Pada masanya, Siagian sangat berjaya dan membawa harum nama bangsa di pentas olahraga internasional.
Beda lagi pada masa kini. Dia bernasib sama seperti banyak sekali atlet-atlet yang pernah berjaya dan membuat lagu Indonesia Raya berkumandang di mana-mana, namun kini mereka bukan siapa-siapa. Siagian terancam tergusur dari rumahnya tinggal saat ini.
Rumahnya di Semarang tercatat merupakan rumah dinas yang terdaftar atas nama istrinya, Lucia Endang Hartati, seorang perawat di RSUP dr Kariadi, Semarang. Status rumah dinasnya itu juga unik, tanahnya milik rumah sakit terbesar di Jawa Tengah itu, namun bangunannya milik Dinas Kesehatan setempat.
Siagian sendiri kini seorang pensiunan di Pemerintahan Kota Semarang sejak dua tahun lalu, dan mereka sudah tinggal di rumah dinas sang istri itu sejak 20 tahun lalu. Kalau sudah bicara masalah rumah inilah Siagian, kelahiran 15 Mei 1954, pusing kepala karena pihak-pihak yang berwenang menghendaki mereka meninggalkan rumah dinas itu atas suatu alasan.
"Sebenarnya pada 2010 kami sudah harus meninggalkan rumah dinas ini karena bangunannya milik Dinas Kesehatan sedangkan tanahnya milik Rumah Sakit Kariadi dan sudah ada suratnya, tetapi akhirnya diperpanjang lagi," katanya. Dia memang belum punya rumah, bahkan yang sangat sederhana sekalipun.
"Saya sudah mengajukan kredit rumah tetapi sampai kini belum turun. Kalau jadi kami digusur dan itu tidak kami paham kapan dilakukan, mau ke mana lagi kami tinggal?," katanya.
Siagian kini adalah seorang bekas atlet nasional yang tidak memiliki daya. Sangat berbeda jika kenangan dibawa menuju dasawarsa '80-an hingga awal -90-an... dia sungguh seseorang yang sangat disegani di bidang atletik, terutama lari sprint 100 dan 200 meter, loncat tinggi, lempar cakram, dan lompat jauh.
Pria kelahiran Medan, Sumatera Utara, itu menjadi atlet amatir yang berkomitmen tinggi pada awal 1980. Adalah POR Penca di Solo pada 1984, yang membuat nama Christian Siagian diperhitungkan orang dan diperbincangkan. Saat itu dia bisa meraup lima medali emas, yaitu dari lari 100 dan 200 meter, loncat tinggi, lompat jauh, dan lempar cakram.
Suami Hartati dan (kemudian) ayah dua anak itu direkrut menjadi atlet nasional. Status atlet pemusatan nasional melekat pada dirinya dan dia dipersiapkan tampil pada Fespic Games IV di Solo, 1986. Bukan Siagian muda namanya jika hasil latihannya biasa-biasa saja. Raihan medalinya semakin banyak, dua medali emas lari 100 dan 200 meter, serta satu medali perak dari lompat jauh.
"Saya masih ingat catatan waktu saya untuk nomor lari 100 meter adalah 19 detik sedangkan lari 200 meter adalah 21 detik," katanya.
Sambil terus mempersembahkan prestasi terbaik di Tanah Air pada masa itu, dia juga diberi kesempatan membela nama Indonesia di gelanggang internasional. Gelaran Paralympic di Seoul, Korea Selatan, pada 1988 dia cicipi bersama atlet-atlet kelas dunia dari berbagai bangsa.
Kota Kobe di Jepang dia injak dalam laga Fespic Games V pada 1989, dan di sini sia meraih tiga medali perunggu dari nomor lari 100 dan 200 meter, serta lompat tinggi. Artinya, dia masih bisa berbicara pada laga dunia yang persaingannya memang aduhai berat itu. Kenangan-kenangan kejayaan itu juga yang membuat semangatnya masih cukup terpancar hingga kini.
Namun jangan lagi dia diajak bicara soal lain, semisal rumah tinggal. "Kami bingung akan berteduh di mana karena sampai kini belum memiliki rumah kalau nanti digusur," katanya. (ANT)
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2011