secara metafisika, Waisak adalah “proyek langit”
Jakarta (ANTARA) - Waisak, rujukan "drama kosmis" yang ajeg: Purnama dan Mengambang. Penanda alam yang ajeg itu diikat dengan tiga kejadian fisik-metarasional; kelahiran sang Budha, pencapaian kebudhaan dan wafatnya sang Budha.
Tiga kejadian ini berlaku pada saat bulan purnama sidhi. Inilah Tri Suci Waisak alias Three Holy Veishak.
Purnama, sebuah penanda alam tentang kesempurnaan. Bulan, tak semata mengembang, pun mengambang. Seakan melayang-layang di atas samudera galaksi maha luas.
Sebuah majelis pergerakan kosmis tarikh penanggalan sistem qamariah (lunar) dari maujud hilal segaris bulan sabit sehingga mencapai tampilan purna(ma).
Dan purnama itu teramat elok ditatap dari muka bumi. Bulan akan menampilkan corak yang berbeda ketika ditatap dari planet sepupu bumi yang lain. Inilah persaksian makhluk bumi melalui sejumlah penanda (di antaranya; bulan).
Secara metafisika, Waisak adalah “proyek langit”. Alam raya bermain dalam gelinjang tarian kosmis melalui makhluk-makhluk kosmis sebagai penarinya. Meminjam Fritjof Capra, ya... bak Tao of Physics. Sang Pangeran pun lahir dari rimbun keriangan istana Shakya serba gempita.
Sebelum lahir, sang Bunda yang seorang ratu kerajaan di dataran tinggi Asia (Nepal, tepatnya kini), berwisata dalam alam mimpi. Mimpi dengan tampilan kecemerlangan penuh rona mencerah hingga puncak Himalaya.
Alam mimpi adalah proyeksi masa depan, seperti diyakini jalan tasawuf. Tapi mimpi, dalam psikoanalisis Freud tak lebih dari lorong ke masa lalu. Mimpi jenis sang ratu adalah “jalan esoteris”, yang secara demonstratif merayu kehadiran masa depan. Penanda langit ini semacam tuntunan Maha Tinggi (al-Ain at-Tsabithah) sejalan dengan kematangan spiritual era itu.
Baca juga: Lima wihara terbesar Indonesia penuh pesona
Pangeran Sidharta muda, bergelung kehidupan istana kencana serba luxury. Kemewahan tiada tara, kejelitaan ‘sri gunung’ dayang pengasuh, pesta, tarian dan nyanyian hingga menusuk sebuah alamat; jemu, lelah dan pulas. Terjaga dari tidur pulas di sudut dinihari yang sejuk beku, dia membangunkan sang ajudan. Keputusannya? Keluar dari istana.
Empat entitas yang dipantangkan kepada Sang Pangeran oleh Ayahanda Raja; tua, sakit, mati dan pertapa.
Keputusan keluar dari istana bagi Pangeran Sidharta adalah demi menemui jawaban; Kenapa tua? Kenapa sakit? Kenapa mati? Instrumennya adalah lelaku kelana, kembara dan pertapaan. Kosongkan dirimu. Jauhi dari berkas persepsi. Sehingga jalan Budha yang dikenal oleh dunia Barat adalah retas jalan teraphis mewangi.
Budha, sebuah retas spiritualitas Timur menawan bagi Barat. Mereka menemukan sisi quick tour (pelancongan ringkas) pada dimensi spiritual yang terefleksi dari praktik hidup yang mengedepankan perbuatan baik; sejatinya terhubung dengan langit.
Budha, sebagai agama bumi (Timur) dikenal sebagai agama “dengan-tanpa Tuhan” (bukan atheis); sebuah jalan menikam ‘diri sejati’ lewat meditasi kesadaran intuitif (via contemplativa).
Berburu kebenaran ala Budha, mendekatinya lewat “penyatuan diri dengan alam”. Kebersatuan diri (jiwa, raga, ruh) dan alam ialah kunci esoterik Timur dalam mempekerjakan "mata pikir" dalam relung intuitif. Jalan esoterik Timur dalam menukil realitas tertinggi yang mereka sebut Buddha atau Kebudhaan dalam gerak penyelesaian naratif: Pencerahan.
Kesamaan operasional agama Kebijaksanaan Timur ini bisa diresapi dalam candra tasawuf sufisme Ibn Arabi (Islam), Jalan Kabalistik (Yahudi) dan Mistisme (Kristiani).
Dimensi transenden itu adalah Sunyata (Buddhisme); Brahman (Hinduisme); Tao (Taoisme), lalu bersepupu pertiwi dengan Ain Soph (Kabalisme Yahudi); Godhead, Hahut (Mistisme Kristen) dan al Haqq (Sufisme Islam). Tuhan tidak dicorakkan sebagai “lembaga Wahyu Monarkhi”.
Sisi esoterisme Timur itu, malah menyemarakkan praktik muka bumi seakan terhubung ke atas (langit). Lebih mengedepankan praktik (tindakan) nyata dalam laku perbuatan; suguhan film-film Kung Fu, Kempo ala Jepang atau pun Bushido; seseorang yang hendak belajar agama (di biara Shaolin, Sorinji versi Jepang), malah disuruh membersihkan selokan, parit, mengaduk bubur, berkebun sayur, memikul gentong air dari satu parak ke kebun lain, membersihkan biara, patuh tanpa kuitansi pada tindak laku irrasional seorang guru mbalelo di lingkungan biara.
Upaya “pembumian” Wahyu “Tuhan Monarkhi”, malah dilakukan lewat sejumlah pertumpahan darah demi alasan dakwah, perang, airmata dan sak wasangka. Di sini terjadi konstruksi kualitas phallologosentris (kemewahan sains partiarkhal); pemuja sains, sekaligus memisahkan seni dan moral.
Baca juga: Wapres harap Waisak tingkatkan kebijaksanaan umat Buddha
Sebaliknya, agama Kebijaksanaan Timur, mengikat sains, seni dan moral dalam satu ikatan padu. Dalam tradisi Budha telah mencapai puncak: Metta Paramita (Kesempurnaan Cinta Kasih) dan Upekkha Paramita (Kesempurnaan Keseimbangan Pikiran).
Arkian, pada usia 7 tahun Sidharta berjalan dengan sepupunya di taman istana. Sejurus kemudian melintas angsa terbang di atas ubun-ubun.
Saudara sepupu ini langsung mengayunkan anak panah ke arah angsa; jatuh, tersungkur, luka angsa di perut bumi.
Sidharta berlari kencang menghampiri angsa yang luka. Dengan kasih sayang nan lembut, dia membelai dan mencabut anak panah. Sepupu Pangeran memaksa merampas angsa yang luka dari pelukan Sidharta. “Ini hak ku”, bentak sepupu.
Sidharta: “Jika dia hidup, dia milik ku. Karena aku yang merawatnya. Kalau dia, mati, dia jadi milik mu”. Pertengkaran tak selesai di situ. Lalu, perkara ini disidangkan di depan dewan sepuh Istana. Keputusannya: “Kehidupan adalah milik orang yang berusaha menyelamatkannya. Orang yang berusaha menghancurkannya, tidak berhak atas hidup ini”.
Sebuah Jalan Tengah: Nammo Budaya... Selamat Meraut Kecerahan Waisak 2566.
Baca juga: Rohaniawan: Waisak momentum bangun kebersamaan antar umat beragama
*) Prof Dr Yusmar Yusuf adalah seorang budayawan dan Guru Besar Kajian Melayu Universitas Riau
Copyright © ANTARA 2022