Di sisi lain, sebagai negara kepulauan terbesar, krisis iklim membuat Indonesia semakin rentan mengalami bencana alam seperti banjir, tanah longsor, puting beliung, badai, gelombang panas, hingga kebakaran hutan.
Jakarta (ANTARA) - Indonesia berada di jalur gempa teraktif di dunia karena dikelilingi oleh Cincin Api Pasifik dan berada di atas tiga tumbukan lempeng benua, yakni, Indo-Australia dari sebelah selatan, Eurasia dari utara, dan Pasifik dari timur.
Kondisi geografis ini menjadikan Indonesia wilayah yang rawan mengalami bencana seperti letusan gunung api, gempa bumi, dan tsunami.Di sisi lain, sebagai negara kepulauan terbesar, krisis iklim membuat Indonesia semakin rentan mengalami bencana alam seperti banjir, tanah longsor, puting beliung, badai, gelombang panas, hingga kebakaran hutan.
Analisis Bank Dunia pada 2018 pun menempatkan Indonesia pada peringkat ke-12 dari 35 negara yang menghadapi risiko terbesar akibat bencana alam.Selain korban jiwa, berbagai bencana yang dialami Indonesia juga mengakibatkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit.
Kajian Kementerian Keuangan pada 2020 menyebutkan rata-rata nilai kerusakan langsung yang dialami Indonesia dalam 15 tahun terakhir mencapai sekitar Rp20 triliun per tahun.Menurut Direktur Tata Ruang, Pertanahan, dan Penanggulangan Bencana Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Sumedi Andono Mulyo, untuk menjadikan Bangsa Indonesia tangguh menghadapi bencana, pemerintah terus memperkuat sistem ketangguhan bencana.
Langkah yang ditempuh adalah dengan membangun satu data terintegrasi, memperkuat sistem peringatan dini bencana, membangun budaya sadar bencana melalui edukasi dan literasi, memperkuat kolaborasi antarkementerian dan lembaga, dan meningkatkan investasi serta sinergi pendanaan.
Pada kondisi normal sebelum terjadi bencana, Kementerian dan Lembaga serta pemerintah daerah menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan APBD untuk mengurangi potensi kerugian akibat bencana.
Sumedi mencontohkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) membangun pengendali banjir berupa waduk, Kementerian Desa mengedukasi masyarakat desa terkait tanggap bencana, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bersama Kementerian Dalam Negeri memperkuat kapasitas pemerintah daerah mengatasi bencana.
"Kemudian BMKG, BRIN, Badan Geologi Kementerian ESDM, dan BNPB itu memperkuat sistem deteksi dini. Selain itu, pemerintah daerah juga melakukan beberapa kegiatan saat pra bencana," katanya.Baca juga: Mengenal teknologi mitigasi bencana karya Indonesia
Sementara itu, Kementerian dan Lembaga serta pemerintah daerah juga berkolaborasi untuk mengantisipasi risiko bencana di Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN).
Misalnya, Kementerian ATR bertugas menyusun rencana detail tata ruang kawasan strategis nasional pariwisata, BNPB membuat peta risiko bencana, dan Kementerian PUPR membuat jalur evakuasi dan tempat evakuasi apabila terjadi bencana."Itu khusus untuk kawasan pariwisata strategis nasional seperti Labuan Bajo, Danau Toba, Borobudur, dan lain-lain," katanya.
Pemerintah juga memiliki dana cadangan bencana dalam APBN senilai Rp5 sampai Rp10 triliun per tahun sejak 2004, untuk disalurkan kepada pemerintah di daerah yang mengalami bencana sehingga mereka bisa melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi.
Namun, nilai tersebut belum cukup mengingat kerugian yang diakibatkan oleh bencana rata-rata mencapai Rp20 triliun per tahun.
Luncurkan Pooling Fund BencanaUntuk menutupi gap pembiayaan, pada Agustus 2021 lalu pemerintah Indonesia meluncurkan pendanaan inovatif berupa dana bersama atau Pooling Fund Bencana (PFB), yang ditandai dengan penerbitan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2021 tentang Dana Bersama Penanggulangan Bencana pada 13 Agustus 2021.
PFB merupakan wujud komitmen pemerintah dalam memperkuat ketahanan fiskal untuk menanggulangi dampak bencana alam dan non-alam.
PFB dibentuk agar pemerintah tidak perlu menggunakan pos anggaran lain saat dana pencadangan bencana dari APBN tidak cukup.
Baca juga: GPDRR dan pentingnya upaya global mengurangi risiko bencana
Kepala Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral (PKRB) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Nella Sri Hendriyetty mengatakan penggunaan pos anggaran lain untuk mengatasi bencana dapat memberatkan APBN dan membuat pertumbuhan ekonomi terganggu.
Dengan PFB, APBN hanya mendanai risiko bencana rendah, sementara risiko bencana tinggi didanai oleh PFB.PFB pun memungkinkan pemerintah untuk mengatur strategi pendanaan risiko bencana melalui APBN atau APBD, maupun memindahkan risiko kepada pihak ketiga melalui pengasuransian aset pemerintah dan masyarakat.
"Adanya PFB diharapkan dapat mempercepat pemulihan masyarakat dari bencana dan melindungi masyarakat yang paling terdampak, yaitu masyarakat miskin dan rentan.
Saat ini pemerintah telah menunjuk Badan Pengelola Lingkuhan Hidup (BPDLH) untuk mengelola PFB dengan dana awal yang ditempatkan sebesar Rp7,3 triliun.
"Saat ini kami sedang menyiapkan piranti kelembagaan, program-program, dan sumber daya manusia (SDM) untuk mengelola PFB," katanya.
BPDLH akan bertindak sebagai pengelola dana secara profesional, sekaligus menyalurkan dana pada Kementerian dan Lembaga atau pemerintah daerah yang mengajukan proposal untuk mengatasi bencana."Jadi dana dari anggaran, transfer, dan grant itu masuk ke BPDLH dan dikelola oleh BPDLH secara profesional sesuai dengan code of conduct fund manager bagaimana dia mengelola dana tersebut. Nanti Kementerian dan Lembaga serta pemerintah daerah bisa mengajukan proposal pendanaan untuk mengatasi bencana yang harus disetujui oleh komite tersendiri," katanya.
Baca juga: Cegah bencana di pesisir Indonesia dengan rehabilitasi mangrove
Dalam waktu dekat, pemerintah berharap kepercayaan investor pada PFB dapat meningkat sehingga dana yang terkumpul untuk dikelola akan bertambah banyak.
Sementara dalam 2 sampai 3 tahun ke depan, PFB akan mendanai pembelian premi asuransi seluruh gedung atau bangunan milik Kementerian dan Lembaga.
PFB juga akan bergotong-royong melakukan co-financing dengan pemerintah daerah untuk mengasuransikan aset daerah sehingga nilai kerusakan akibat bencana alam yang ditanggung pemerintah dapat ditekan.
Berbagai upaya pemerintah tersebut diharapkan dapat mengurangi kerugian akibat bencana yang rentan dialami oleh Indonesia. Edukasi untuk masyarakat juga perlu dilakukan antara lain dengan mendorong masyarakat agar tanggap bencana dan mengasuransikan asetnya guna mengurangi kerugian akibat bencana.Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2022