...jika kami tak bekerja, kami mau makan apa?

Noida (ANTARA) - Bagi buruh bangunan Yogendra Tundre, kehidupan di lokasi proyek di pinggiran New Delhi cukup berat karena suhu di ibu kota India itu sangat panas dan membuatnya tersiksa.

India tengah bergelut dengan gelombang panas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebagian besar buruh miskin, yang umumnya bekerja di tempat terbuka, rentan terhadap suhu udara yang menyengat itu.

"Suhunya terlalu panas dan jika kami tak bekerja, kami mau makan apa? Selama beberapa hari kami bekerja dan hari lainnya kami beristirahat karena kelelahan dan kepanasan," kata Tundre.

Suhu di kawasan New Delhi telah mencapai 45 derajat Celcius tahun ini, membuat Tundre dan istrinya Lata, yang bekerja di lokasi proyek yang sama, jatuh sakit dan kehilangan penghasilan.

"Karena panas, kadang-kadang saya tak bekerja. Saya libur beberapa hari… sering kali, sakit akibat dehidrasi dan memerlukan botol glukosa (cairan infus)," kata Lata sambil berdiri di luar rumahnya, sebuah pondok sederhana beratapkan seng.

Buruh bekerja di proyek konstruksi saat suhu panas melanda, di Noida, India, 12 Mei 2022.(ANTARA/Reuters/Anushree Fadnavis/as)

Para ilmuwan telah mengaitkan suhu musim panas yang intens itu dengan perubahan iklim. Mereka mengatakan lebih dari satu miliar orang di India dan negara tetangganya Pakistan menghadapi risiko panas yang ekstrem.

India pada Maret merasakan bulan terpanas dalam 100 tahun lebih dan sebagian wilayah di negara itu mencatat rekor suhu tertinggi pada April.

Banyak tempat, termasuk New Delhi, mengalami suhu panas hingga 40 derajat Celcius. Lebih dari 24 orang tewas, diduga akibat sengatan panas, sejak akhir Maret. Kebutuhan listrik mencapai angka tertinggi dalam beberapa tahun.

Perdana Menteri Narendra Modi telah meminta pemerintah negara bagian untuk mengambil langkah-langkah memitigasi dampak dari panas yang ekstrem itu.

Tundre dan Lata tinggal dengan dua anak di sebuah kawasan kumuh dekat lokasi proyek di Noida, kota satelit New Delhi.

Mereka pindah dari kampung halaman mereka di negara bagian Chhattisgarh, India tengah, untuk mencari pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik di sekitar ibu kota.

Di lokasi konstruksi itu, para buruh memanjat tembok, memasang beton dan membawa beban berat. Mereka menutupi kepala dengan selendang untuk menahan sengatan matahari.

Bahkan ketika pasutri itu selesai bekerja, mereka hanya beristirahat sedikit karena rumah mereka panas setelah menyerap suhu udara yang tinggi seharian.

Avikal Somvanshi, peneliti lingkungan perkotaan dari Pusat Ilmu Pengetahuan dan Lingkungan India, mengatakan data pemerintah federal menunjukkan bahwa tekanan panas menjadi penyebab umum kematian oleh kekuatan alam, setelah sambaran petir, dalam 20 tahun terakhir.

"Kebanyakan korban tewas adalah pria berusia 30-45 tahun. Mereka adalah kelompok pekerja, kaum kerah biru yang tak punya pilihan lain kecuali bekerja di bawah sengatan panas," kata Somvanshi.

Tak ada undang-undang di India yang melarang aktivitas luar ruang ketika temperatur menembus level tertentu seperti yang diberlakukan negara-negara Timur Tengah, kata Somvanshi.

Sumber: Reuters
Baca juga: Kematian akibat gelombang panas di India naik jadi 36
Baca juga: Suhu kota di India sampai 51 derajat Celcius
Baca juga: Gelombang panas landa India, lebih 100 orang tewas

Penerjemah: Anton Santoso
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2022