PSSI menerabas sejarah kekinian dengan menegas-negaskan diri sebagai "aku yang sedang berkuasa dan aku yang sedang merasa enak"

Jakarta (ANTARA News) - Kisruh terpicu pelatuk dualisme kompetisi sepak bola Indonesia memuntahkan amunisi saling menghujat dan saling melontarkan dakuan (klaim) sah dan tidak sah. Ilustrasinya, mirip-mirip Tom dan Jerry berebut sekerat daging dan Popeye dan Brutus berebut Olive pujaan hati. Wakaakaa....

Seru, seram dan ekstra deg-degan. Aktornya, Indonesian Premier League (IPL) dan Indonesian Super League (ISL). IPL dibeking PSSI sementara ISL dituding PSSI sebagai oknum "mbalelo". Sanksi demi sanksi dilontarkan PSSI kepada punggawa ISL sebagaimana layaknya koboi berkuda di dunia Wild Wild West menembak lawan.

Dor,dor, dor dan lawan terjengkang dari kuda. Penonton bersorak karena sang jagoan menembak mati sang penjahat. Dan bara konflik antara IPL kontra ISL terus berkobar. Puncaknya, Persipura Jayapura terdepak dari kompetisi Liga Champions Asia (LCA) akibat "Mutiara Hitam" telah mengikuti kompetisi di luar PSSI.

Riak-riak dualisme kompetisi yang dikompori "sikap tegas" PSSI berbuah krisis. Sebelas klub dari IPL mundur teratur dari musim kompetisi 2011/2012. Sontak, mereka memaksa PT Liga Prima Indonesia Sportind0 (LPIS) merevisi jadwal kompetisi. Jumlah laga menyusut karena hanya 13 klub yang tampil di kasta utama kompetisi Indonesia.

Krisis itu diamini personel LPIS. "Jadwal baru sudah kami siapkan. Tinggal dirilis dan disebarkan ke klub-klub. Dengan 13 klub ini maka akhir kompetisi akan maju sekitar sebulan dari jadwal sebelumnya," kata CEO PT LPIS Widjajanto. Di jadwal sebelumnya, ada 17 klub yang mendaftarkan diri sebagai peserta. IPL dijadwalkan berakhir pada Juli 2012.

PSSI terus menghunjamkan sanksi. Klub-klub yang menolak berlaga di IPL akan menuai sanksi. "Kami sudah menerima data dari pihak pelapor, dalam hal ini PT LPIS," kata Ketua Komisi Disiplin PSSI Benhard Limbong. Serta merta, klub-klub ISL terbengong-bengong. "Hal itu sangat tidak berdasar dan tidak memiliki hukum kuat," kata Direktur Umum PT Liga Indonesia (LI) Syahril Taher.

PSSI sebagai institusi yang menguasai dunia-kehidupan (life-world) sepak bola Indonesia seakan memonopoli makna dengan menentukan mana yang benar dan mana yang tidak-benar. Sampai-sampai, PSSI bakal menghukum wasit jika sampai memilih ISL.

Menurut Ketua Komisi wasit PSSI Robert Rouw, PT LI sebagai penyelenggara kompetisi ISL sudah mengirim permohonan supaya PSSI memberi wasit untuk bertugas di laga kompetisi ISL. Alhasil, Ketua Umum PSSI, Djohar Arifin Husin belum memenuhi permintaan itu.

Baik IPL maupun ISL berebut pengaruh di jantung hati klub-klun Divisi Utama. PT LI siap menggelontorkan dana subsidi sebesar Rp300 juta. Tidak ingin mati angin, PT LPIS bergegas mencari simpati dengan memasukkan klub-klub Divisi Utama sebagai pemilik saham mayoritas di PT LPIS. Uang dan saham ikutan berbicara. Bagaimana dengan suporter?

Perseteruan itu makan korban. Tersebutlah bahwa Persija IPL ingin menghindari konflik dengan Persija ISL. Jakmania pun siap menghadang. Keberadaan Persija IPL yang dibidani Bambang Sucipto dan Hadia Basalamah memunculkan penolakan Jakmania yang tanpa tedeng aling-aling mendukung Persija di ISL.

Di kubu PSM Makassar, sejumlah anggota menolak IPL. Mereka menuntut Ilham Arif Sirajuddin sebagai ketua umum mengembalikan Juku Eja. Lengkap sudah bahwa kompetisi IPL mulai ditinggalkan suporter. IPL dirundung duka. Empat laga yang direncanakan digelar ternyata batal berlangsung karena tim yang bersangkutan menolak tampil. Weleh, weleh.

LPIS sebagai dinamo LPI dan PSSI seakan menuai badai lantaran telah menebar angin kebencian di relung damai sepak bola dan sejuk komunikasi.

ISL tetap bergulir meski PSSI melontarkan berbagai jurus sanksi untuk melakukan pencekalan dengan meminta Badan olah Raga Profesional Indonesia (BOPI) mengesahkan LPI sebagai satu-satunya kompetisi dan surat ke Polri untuk tidak memberikan ijin penyelenggaraan ISL.

Karut marut kompetisi Indonesia berawal dari dua ketakpanggahan (inkonsistensi) PSSI. Awalnya kompetisi PSSI dibagi dua wilayah dengan peserta 32 klub, lantas diralat lagi menjadi 18 klub, kemudian ditetapkan menjadi 24 klub, lantaran ada penambahan enam klub tanpa ada mekanisme terang benderang.

Ketakpanggahan kedua, Ketua Umum PSSI secara sewenang-wenang memasukkan PSMS dan Persebaya dengan menggunakan alasan sejarah dan ikon.

Alasan sejarah? Absurd! Kedua ketakpanggahan PSSI justru berlawanan dengan pandangan sejarah klasik bahwa manusia akan berkembang baik dan harmonis asal dibiarkan hidup dengan bebas sebagaimana diungkapkan oleh filsuf JJ Rousseau.

PSSI menerabas sejarah kekinian dengan menegas-negaskan diri sebagai "aku yang sedang berkuasa dan aku yang sedang merasa enak". PSSI kini seakan terlempar dan terpenjara dengan trauma masa lampau dari kepemimpinan figur terdahulu. Dendam berbalas dendam. Inikah "fair play"?

Lebih lagi, PSSI melupakan dan mengabaikan bahwa sepak bola sebagai dunia-kehidupan, meminjam istilah filsuf Jurgen Habermas, bukanlah milik khusus seseorang. Sepak bola bermakna karena ada perjumpaan antar pribadi (inter-subyektif), karena ada ruang bersama dalam komunikasi.

Sanksi bertubi-tubi kepada mereka yang dicap "beringasan" hanya menegaskan bahwa PSSI memosisikan diri sebagai orang pertama tunggal yang menafsirkan makna komunikasi. Kalau PSSI menabrak fatsun sejarah dan melabrak rumus dasar komunikasi antar pribadi maka jawaban nyelenehnya, "Emang gue pikirin". EGP itu indah.

Drama IPL atau ISL yang diwarnai dan disuburkan oleh sanksi ini dan sanksi itu dari PSSI bermuara dari adanya sistem yang tertutup. Dan sistem yang tertutup cenderung menemui kebangkrutan. Pakem ini berlaku juga bagi institusi, organisasi dan perusahaan yang suka memonopoli makna. Wah?
(A024)

Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2011