Dengan pendekatan ultimum remedium ini maka pidana menjadi jalan terakhir, ini semangat Undang-Undang Cipta Kerja yang ada di semua sektor

Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan bahwa penerapan sanksi administratif kepada pelaku usaha perikanan yang melanggar ketentuan dilakukan sebagai upaya meningkatkan keberlanjutan usaha di sektor ini.

"Dengan pendekatan ultimum remedium ini maka pidana menjadi jalan terakhir, ini semangat Undang-Undang Cipta Kerja yang ada di semua sektor, artinya dengan penerapan sanksi administratif ini pemerintah berharap iklim usaha tetap kondusif," kata Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP Adin Nurawaluddin dalam rilis di Jakarta, Sabtu.

Adin juga menegaskan bahwa penerapan sanksi administratif ini merupakan perwujudan keadilan restoratif.

Dengan penerapan itu, ujar dia, maka pelaku pelanggaran yang menyebabkan kerugian ataupun kerusakan sumber daya kelautan dan perikanan wajib menggantinya.

Sanksi administratif juga dipandang efektif mengingat waktu penyelesaiannya relatif cepat yaitu paling lambat 21 hari, sedangkan untuk pidana, waktu penyidikan saja sampai dengan 30 hari, belum termasuk proses penuntutan sampai dengan inkracht, di mana kemungkinan putusan dapat berbentuk hukuman penjara dan penyitaan kapal, sehingga dampak pengenaan sanksi pidana sangat signifikan yaitu dapat membuat tutupnya usaha yang dilakukan.

Sementara pengenaan sanksi administratif cenderung lebih memberikan kesempatan kepada dunia usaha untuk tetap melanjutkan usaha sebagaimana amanat dari Undang-Undang Cipta Kerja.

“Dari sisi waktu penyelesaian, sanksi administrasi ini sudah selesai paling lama 21 hari, dan pelaku usaha dapat langsung melanjutkan kegiatannya apabila sudah melaksanakan kewajiban terkait sanksi,” ujar Adin.

Selain itu, Adin menjelaskan bahwa apabila pelaku usaha dikenakan denda administratif, besaran denda disesuaikan dengan jenis pelanggaran, ukuran kapal dan jumlah hari pelanggaran, sehingga lebih memenuhi rasa keadilan dan efek jera.

Lebih lanjut Adin juga menjelaskan bahwa di sektor kelautan dan perikanan, penerapan sanksi administratif ini telah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 31 Tahun 2021. Adin juga menampik anggapan bahwa penerapan sanksi administrasi ditujukan untuk peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

"Tentu sangat proporsional dan adil karena mempertimbangkan jenis pelanggaran, ukuran kapal dan jumlah hari pelanggaran menjadi pertimbangan dalam pengenaan besaran denda," ujarnya.

Adin menjelaskan bahwa tata cara pengenaan sanksi administratif berupa teguran telah diatur di Pasal 9 Permen KP Nomor 31 Tahun 2021, di mana hanya diberikan apabila (1) baru pertama kali melakukan pelanggaran, (2) belum menimbulkan dampak berupa kerusakan dan/atau kerugian sumber daya kelautan dan perikanan dan/atau keselamatan dan/atau kesehatan manusia; dan/atau (3) sudah ada dampak yang ditimbulkan namun dapat diperbaiki dengan mudah.

“Itu kriterianya, artinya kalau kemudian dikenakan denda, berarti kriteria tersebut tidak terpenuhi, dan perlu dipahami bahwa denda tersebut disetorkan langsung ke kas negara dan akan disalurkan kembali kepada nelayan dalam bentuk program-program pembangunan,” ujar Adin.

Ia mengemukakan, selama tahun 2022, sanksi administratif telah diberikan kepada 60 kapal ikan Indonesia yang melakukan pelanggaran dengan rincian 6 kapal diberikan peringatan, 47 kapal dikenakan denda administratif, 2 kapal dibekukan perizinan berusahanya, dan 4 kapal dicabut izinnya dan 1 kapal diproses pidana.

Baca juga: KKP ajak pelaku usaha perikanan manfaatkan digitalisasi pelayanan
Baca juga: KKP target salurkan kredit program Rp8,9 triliun bantu usaha perikanan
Baca juga: DFW: Tingkatkan kredit usaha perikanan bagi kalangan nelayan kecil

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2022