Tenggarong (ANTARA News) - Waktu menunjukkan pukul 14.30 Wita saat 10 anggota tim penyelam Badan SAR Nasional (Basarnas) mencemplungkan diri ke Sungai Mahakam di Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Minggu (4/12).

Hampir setiap hari sejak runtuhnya Jembatan Kutai Kartanegara pada 26 November 2011, Aris, salah seorang anggota tim penyelam badan pencari dan penyelamat (Search and Rescue/SAR), bersama rekan-rekannya berupaya mengevakuasi belasan korban yang diperkirakan masih terjebak di dalam kendaraan bersamaan dengan runtuhnya badan jembatan.

Mengenakan seragam berwarna oranye bertuliskan Basarnas, Aris yang membawa peralatan menyelam turun dari tepi sungai menuju kapal kecil yang kemudian membawa rombongan penyelam ke tengah Sungai Mahakam yang diperkirakan menjadi tempat tenggelamnya sejumlah kendaraan.

Para penyelam juga membawa tali yang telah dirangkai menyerupai jangkar untuk dikaitkan ke mobil yang masih berada di dasar sungai untuk ditarik ke permukaan menggunakan alat berat crane. Tali yang telah dirangkai tersebut diikatkan pada besi pemberat yang juga berfungsi sebagai pegangan agar tidak terseret arus.

Tugas para penyelam Tim SAR Gabungan kali ini memang tidak mudah, bahkan risiko kehilangan nyawa pun harus dipertaruhkan. Derasnya arus Sungai Makaham dan minimnya jarak pandang membuat para personel tim tidak dapat bekerja secara maksimal.

Mereka berupaya mengevakuasi dengan cara mengangkat satu per satu kendaraan yang masih terjebak di dasar jembatan harus dilakukan Tim SAR. Harapannya tentu saja ada korban yang dapat ditemukan.

Hingga hari kesepuluh sejak runtuhnya Jembatan Kutai Kartanegara, mereka menemukan 21 korban tewas ditemukan Tim SAR. Namun ,semua korban ditemukan di atas permukaan air, dan belum satu pun korban yang berhasil diangkat dari dasar Sungai Mahakam.

Sonar

Berdasarkan hasil akhir pemetaan bawah permukaan Sungai Mahakam yang dilakukan Tim Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dengan teknologi side scan sonar, dan multibeam echosounder, sebanyak 13 objek yang diduga mobil berada di dasar Sungai Mahakam.

Sonar (sound navigation and ranging) adalah alat pendeteksi yang memanfaatkan teknologi suara guna mendeteksi benda di bawah permukaan air.

Hasil pemetaan multibeam menunjukkan bahwa jembatan patah di 50 meter dari arah Tenggarong, begeser dan patah di meter 104, dan sisanya 104 meter duduk di dasar sungai hingga pylon menara sisi Samarinda.

Analisis gabungan dari citra side scan sonar dan multibeam echosounder memberikan gambaran kondisi yang cukup jelas di kedalaman Sungai Mahakam, yakni terdeteksi 13 obyek bawah laut yang diduga berkaitan dengan ambruknya jembatan.

Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, dari ke-13 objek yang diduga mobil itu, enam objek berada di sekitar patahan jembatan. Sebelumnya, dengan menggunakan side scan sonar terdeteksi tujuh titik di luar reruntuhan jembatan dan satu di bawah reruntuhan jembatan. Titik-titik tersebut diindikasi sebagai kendaraan.

Dengan memadukan multibeam echosounder dan side scan sonar, Tim BPPT berhasil mengetahui koordinat posisi semua objek tersebut.

Setelah sekitar empat jam Tim SAR Gabungan melakukan penyelaman, satu unit mobil korban tragedi Jembatan Kutai Kartanegara berhasil dievakuasi dari dasar Sungai Mahakam, sekitar pukul 18.00 Wita.

Proses evakuasi mobil jenis Daihatsu Xenia dengan menggunakan alat berat crane itu langsung disambut tepuk tangan banyak orang, termasuk puluhan petugas Tim SAR dan wartawan, yang menyaksikannya dari tepi Sungai Mahakam.

Mobil yang terlihat dalam kondisi ringsek tersebut kemudian dipindahkan ke sebuah ponton untuk dievakuasi ke darat. Dari informasi yang dihimpun di lapangan mobil dengan nomor polisi KT 2986 AV itu ditumpangi satu keluarga yang tewas dalam tragedi jembatan ambruk itu yakni Budi Yulyanto (30) bersama istrinya, Rusmini (30) serta tiga anaknya, Muhammad Fauzan Rivaldi (12), Alisyah (enam bulan) serta Alisha (9).

Mereka adalah warga Jalan Ahmad Yani Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, yang kesemua jasadnya telah ditemukan dan dimakamkan.

Senyum sumringah Aris beserta rekan-rekannya pun terpancar saat tim penyelam naik ke darat setelah berhasil melaksanakan tugas. Meski belum berhasil menemukan jasad korban, setidaknya upaya menarik kendaraan dari dasar sungai telah membuahkan hasil dan seterusnya akan dilakukan.

Aris menuturkan, upaya tim penyelam selama ini memang penuh perjuangan karena medan yang dihadapi dalam tragedi Jembatan Kartanegara itu berbeda dari yang pernah dialami Tim SAR sebelumnya.

"Ketika berada di dalam air, kita memang tidak bisa melihat karena jarak pandang memang nol, jadi hanya meraba-raba saja. Keruhnya air dan derasnya arus di bawah Sungai Mahakam menjadi kendala penyelam," kata Aris yang mengaku sempat terbentur kerangka jembatan di bagian lutut dan kepala.

Meski mengaku panik, ia bisa mengendalikan diri sehingga alat bantu pernapasannya tidak sampai lepas dari mulutnya.

Selain jarak pandang nol dan derasnya arus di bawah Sungai Mahakam, Tim SAR menghadapi kendala lain yang dapat mengancam jiwa para penyelam Tim SAR adalah dua tiang menara jembatan yang masih berdiri yang sewaktu-waktu bisa ambruk menimpa tim penyelamat yang sedang bekerja di bawahnya. Faktor-faktor penghambat yang mengancam keselamatan jiwa penyelam, tentu saja harus diperhitungkan secara cermat.

Selain itu, beberapa penyelam malah mengaku merasakan adanya pusaran air di dasar sungai yang membahayakan bagi penyelam.

Dengan kondisi seperti itu, para penyelam hanya mampu meraba-raba di dasar sungai dengan kedalaman sekitar 45 meter.

Tekanan air yang kuat di kedalaman 45 meter hingga 50 meter juga membuat para penyelam tak dapat bertahan lama di dalam Sungai. Hanya sekitar 15 menit menit, mereka harus kembali ke permukaan. Hal itu juga disebabkan tabung oksigen yang dibawa penyelam juga tidak mampu bertahan lama.

Upaya lain Tim SAR yang sebelumnya telah direncanakan yakni dengan menggunakan balon udara untuk menarik kerangka jembatan belum dilakukan meski balon udara tersebut telah berada di Posko Tim SAR.

Penyelam tradisional

Sebelumnya, sekitar empat penyelam tradisional dari sejumlah desa di bagian hulu Sungai Mahakam menawarkan diri untuk ikut membantu proses evakuasi para korban yang diduga masih berada di dasar sungai.

Para penyelam tradisional itu rata-rata memiliki kemampuan untuk menyelam hingga kedalaman 100 meter di hulu-hulu perairan Sungai Mahakam dan telah terbiasa melakukan pencarian korban tenggelam di Sungai Mahakam, maupun untuk menambang pasir.

Dengan pertimbangan faktor keselamatan jiwa, para penyelam tradisional hingga saat ini belum diizinkan untuk turun membantu Tim SAR.

Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim), Awang Faroek Ishak, bahkan sempat menyarankan agar mempertimbangkan menggunakan bantuan penyelam tradisional, karena mereka terbiasa menyelam di Sungai Mahakam yang keruh dan deras untuk menambang pasir.

Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), Agung Laksono, pun memberikan respons positif terhadap keinginan sejumlah penyelam tradisional itu, saat dirinya untuk kedua kalinya mengunjungi lokasi Jembatan Kartanegara yang ambruk.

"Sepanjang penyelam tradisional tersebut mau bertanggung jawab sendiri, saya kira bisa saja mereka membantu evakuasi korban," ujarnya.

Hal tersebut mengingat sudah satu minggu proses evakuasi dengan jalan menyelam menemui banyak kendala.

"Saya sependapat dengan Gubernur karena mungkin saja mereka memiliki pengalaman dan pengetahuan lebih di dasar Mahakam yang tak bisa kita buktikan dengan teknologi," ujar Agung.

Ia juga mengingatkan bahwa keselamatan tetap merupakan hal yang paling diutamakan dalam proses evakuasi.

Lagi-lagi, faktor keselamatan tim penyelamat memang tidak bisa diabaikan begitu saja dalam upaya evakuasi korban, kendaraan, maupun jembatan yang runtuh.

Oleh karena itu, Tim SAR juga menggunakan perhitungan yang cermat saat melakukan setiap upaya evakuasi. Jika ada salah perhitungan, maka akibatnya tentu bisa fatal karena nyawa anggota tim seperti Aris dan para penyelam lain menjadi taruhannya.

Berbagai pertimbangan itu pula yang menjadi hambatan bagi Tim SAR untuk melaksanakan tugasnya selama masa tanggap darurat yang juga belum jelas sampai kapan akan berakhir.
(T.A041/A011)

Oleh Arief Mujayatno
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011