"Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang menjadi daya tarik peneliti untuk melakukan penelitian," kata Teguh Triono dari Global Taxonomi Initiative-LIPI di Kampus Baranangsiang, Bogor, Senin.
Dalam acara Lokakarya bertemakan "Konvensi Keanekaragaman hayati pasca Protokol Nagoya : Isu-isu terkini dan implementasinya" yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IPB diikuti banyak peneliti.
Teguh menyebutkan, peneliti tersebut berasal dari berbagai negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Perancis, Inggris, Jeman, Belanda, Australia, Italia dan Kadan.
Jumlah peneliti terbanyak berasal dari Amerika Serikat sebesar 28 persen, disusul Jepang 29 persen, Prancis 16 persen, Inggris 11 persen dan Jeman 8 persen.
"Mereka kebanyakan meneliti keanekaragaman hayati, baik itu, tumbuh-tumbuhan, hewan maupun bidang lainnya," kata Teguh.
Menyusul ditandatanganinya Protokol Nagoya, lanjut Teguh, memberikan perlindungan kepada Indonesia untuk memperketat izin penelitian warga negara asing dalam rangka perlindungan bagi Sumberdaya Genetika yang ada.
Teguh menyebutkan, sebelum adanya Protokol Nagoya, pengeluaran izin peneliti asing juga melalui seleksi sangat ketat. Namun, setelah adanya Protokol Nagoya akan memberikan perlindungan dan kontribusi bagi Indonesia dalam penelitian yang dilakukan.
"Protokol Nagoya memberikan manfaat bagi Indonesia oleh karena itu, kita sedang mengupayakan bagaimana pelaksanaan Protokol Nagoya dapat terlaksana optima," kata Teguh.
(KR-LR)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011
1. Perlu diketahui bahwa ijin penelitian bagi peneliti asing kewenangannya berada di Kementerian RISTEK, bukan berada di LIPI.
2. Dalam satu tahun lebih kurang ada 600an permohonan ijin peneliti asing ke TKPIPA dan 120 an sampe 200 an yg mendapat ijin Ristek. Hal ini sebagaimana yang saya konfirmasi ke narasumbernya yakni Pak Teguh Triono.
Demikian dan trims.
http://biologi.lipi.go.id/bio_indonesia/mTemplate.php?h=3