Jakarta (ANTARA News) - Konsep Megapolitan yang melibatkan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dan sejumlah daerah di sekitarnya, yaitu Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok dan Cianjur pada 2006 mendapat sorotan dari berbagai pihak. Meski demikian, Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, tetap pada usulannya dan menilai, sejumlah pihak yang tidak setuju adalah mereka yang tidak memahami secara benar konsep Megapolitan itu. Bahkan, pria yang akan mengakhiri jabatannya sebagai Gubernur DKI itu pada Oktober 2007 menginginkan UU Megapolitan dapat selesai pada 2006 atau setahun sebelum ia melepaskan jabatannya.Sutiyoso pernah menjabat Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) Jaya, dan dia saat ini masih menjabat selaku Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PB PBSI). Berikut ini wawancara ANTARA News bersama harian Indopos dan harian Pikiran Rakyat dengan Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, di kantornya di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (24/2), mengenai konsep Megapolitan.Pertanyaan: Saya mendengarkan paparan bapak di DPR tentang empat masalah yang dihadapi oleh DKI yaitu banjir, transportasi, sampah dan urbanisasi yang kemudian berujung pada konsep megapolitan. Yang menjadi pertanyaan, apakah dalam mengajukan konsep megapolitan merupakan kebijakan yang reaktif atau memang sejak lama megapolitan itu menjadi sebuah keharusan?Sutiyoso: Menurut literatur ya, konsep megapolitan itu adalah sebuah pertumbuhan yang alami. Dari sebuah kota mikro kemudian menjadi metro dan kemudian terus berkembang sebagai kota inti lalu berkembang bersama-sama dengan daerah sekitarnya menjadi megapolitan. Jadi, itu merupakan sebuah proses alami dengan megapolitan itu dan terjadi di berbagai negara katakanlah itu terjadi di Bangkok, di Kuala Lumpur yaitu Putera Jaya, itu kan dulunya kayak kota satelit. Juga di negara-negara bagian Amerika Serikat, jadi itu proses alami. Nah atas konsep itu sebenarnya yang kita bangun adalah sebuah kawasan atau tata ruang yang sinergis jadi antara kota inti Jakarta dan daerah sekitarnya itu tata ruangnya dikemas bersama-sama jadi secara sinergis menguntungkan. Kemudian, yang kedua, mengenai megapolitan ini kan juga ada dasar hukumnya di dalam UU 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah itu dalam pasal 227 itu dicantumkan bahwa Jakarta dan daerah sekitarnya harus diatur secara bersama.Pertanyaan: Jadi kalau ada sebagian pihak yang menganggap bahwa itu kebijakan reaktif untuk menyelesaikan masalah Jakarta secara instan dengan melibatkan daerah-daerah di sekitarnya?Sutiyoso: Ya, itu tadi, seperti penjelasan saya bahwa konsep ini bukanlah reaktif dan memang sudah sejak lama. Zaman gubernurnya Ali Sadikin pun, dia sudah ajukan. Bagaimana dengan persoalan Jakarta sendiri? Ini ibukota negara, jadi apa yang terjadi di sini akan mempengaruhi seluruh provinsi di Indonesia dan pemerintah Indonesia. Kota ini kan penduduknya terus bertambah. Penduduk bertambah baik dari kelahiran maupun urbanisasi. Pertambahan penduduk ini juga datangnya orang pinggir kota kecil ini. Sekitar dua juta lebih orang dari daerah Depok, Bogor, Bekasi itu masuk ke Jakarta setiap hari. Ini sebuah kenyataan dan tumbuhnya kota-kota satelit itu sudah terjadi. Karawaci, Serpong dan Sentul. Karena ini ibukota negara maka tumbuh kota-kota satelit seperti itu. Jakarta sendiri yang luasnya hanya 650 kilometer persegi dengan kepadatan penduduk sudah 14.000 orang per kilometer persegi, kota ini akan menjadi overload kalau tidak dikemas dengan daerah-daerah sekitarnya. Jadi, dalam konteks itu, daerah-daerah kota kecil itu tadi, kota-kota penyangga itu sadar bahwa itu semua terjadi secara alami. Apakah kita akan terus membangun sarana-sarana dengan lahan yang begitu sempit tadi? Kenapa, misalnya, tidak membangun sekolah atau rumah sakit di Tangerang atau Bekasi? Jadi, tanah milik mereka, kita yang membangun dan digunakan bersama. Megapolitan itu seperti itu maksudnya. Jadi, sekali lagi, bukan niat pencaplokan kota-kota kecil itu dan yang kita atur adalah penataan tata ruang secara bersama-sama dan itu kan menjadikan kota-kota kecil itu terpacu pembangunannya, dan lebih baik infrastrukturnya serta jaringan transportasinya lebih baik.Pertanyaan: Sampai saat ini dari beberapa daerah seperti Bekasi dan Tangerang sudah berapa yang sudah bertemu dan paham?Sutiyoso: Ya, kalau yang sudah ketemu langsung dan dijelaskan langsung mengerti. Seperti Gubernur Jawa Barat, tidak mungkin ia menolak itu. Kalau digabungkan dengan DKI mereka akan menolak, tapi kalau rencana seperti itu mengerti mereka dan tidak menolak. Sering saya bertemu di rapat-rapat itu. Jadi, ini sebuah kebutuhan bersama-sama. Artinya ada landasan hukumnya, kecuali undang-undang itu ada juga peraturan pemerintahnya nomor PP 47 tahun 1997 itu lebih dijelaskan lagi. Kotanya Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Cianjur itu disebut. Diwajibkan untuk dikelola secara khusus, artinya secara bersama. Pria kelahiran Semarang 6 Desember 1944 itu menjelaskan keinginginanya agar UU Ibukota Negara yang juga mencakup konsep megapolitan dapat selesai dan disahkan pada 2006 sehingga dapat segera berjalan, karena dalam pandangannya sejumlah persoalan pelik yang memang sudah sejak lama terjadi di Jakarta seperti urbanisasi, transportasi, banjir dan sampah bisa dituntaskan segera.Pertanyaan: Kalau bapak sendiri mengharapkan konsep megapolitan kapan dapat mulai berjalan?Sutiyoso: Saya ingin undang-undang itu dapat selesai tahun ini. Jika, Gubernur DKI ditunjuk menjadi koordinatornya maka perlu segera diwacanakan pada masyarakat DKI dalam memilih gubernur DKI pada pemilihan yang akan datang. Calon Gubernur DKI Bila konsep Megapolitan dapat terwujud, maka bisa jadi akan dibentuk semacam badan atau lembaga yang mengurus koordinasi antar wilayah Megapolitan. Dan ,sebagai koordinatornya dapat saja Gubernur DKI sebagai Ex Officio atau Menteri yang ditunjuk oleh presiden. Menilik hal itu, Bang Yos, panggilan akrab Sutiyoso, menilai siapa pun penggantinya nanti harus memiliki wawasan yang cukup untuk menjadi gubernur DKI sekaligus koordinator Megapolitan.Sutiyoso: Jadi, nanti mereka tahu bahwa gubernur ini juga koordinator pembangunan Jabodetabekjur. Jadi, kriteria apa yang dikehendaki. Ini sebuah tambahan syarat. Artinya, tidak sembarang orang asal pilih saja, atau asal Bonek saja. Jadi, sekali lagi, dalam konsep megapolitan ini tidak ada daerah yang dicaplok, mereka berdiri seperti sekarang ini statusnya, yang bupati ya tetap bupati, yang walikota tetap walikota pemegang otonomi tingkat II, DPRD tetap DPRD. Mereka tetap saja atasannya Jawa Barat dan Banten. Jadi, apa yang dikhawatirkan, kalau sebuah gagasan lalu sudah dipersepsikan buruk, apapun alasan yang diajukan pasti selalu dianggap buruk.Pertanyaan: Kalau di UU Megapolitan dan Gubernur DKI menjadi koordinator, berarti seorang gubernur DKI harus memenuhi kriteria tertentu apa itu?Sutiyoso: Ya, itu menjadi wacana bagi masyarakat bahwa gubernur DKI tidak hanya mengatur DKI tetapi juga Jabodetabekjur. Artinya, harapan saya nanti untuk siapa pun yang menjadi gubernur DKI syaratnya harus lebih berat lagi.Pertanyaan: Ada calon dari Bapak?Sutiyoso: Ya, biarlah rakyat yang memilih, nanti malah disangka kampanye.Pertanyaan: Dalam benak bapak, struktur megapolitan itu bagaimana lembaganya?Sutiyoso: Kecuali koordinatornya, ya, juga perlu staf, para pakar tata ruang, pakar ekonomi, sosial budaya dan akhirnya akan menyatu. Jadi, peduli pada semua itu, pada pembangunan berkelanjutan agar dapat dipertahankan. Misalnya di plot bahwa puncak itu daerah resapan air, makanya dibuat hutan lindung, tapi apakah Pemerintah Bogor mempunyai kemampuan? Tidak kan? Makannya, nggak pernah jadi hutan.Pertanyaan: Bagaimana dengan ketakutan daerah-daerah itu bahwa DKI akan sangat mendominasi megapolitan?Sutiyoso: Kalau berperan besar dan menguntungkan dia apa salahnya. Itu kecurigaan yang sangat berlebihan deh. Dan, saya yakin dia tidak memahami arti proses alami, ada UU. Pokoknya nggak ngerti aja.Mengerti konsep Suami dari Setyorini, dan ayah dari Yessi Riana Dilliyanti dan Renny Yosnita Ariyanti itu dalam berbagai kesempatan meminta agar semua pihak dapat mengerti konsep sebenarnya dari Megapolitan, baru kemudian memberikan komentarnya. Bahkan, pria yang pensiun dari TNI Angkatan Darat setelah menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 1997 dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal (Letjen) TNI itu memberikan jaminan bahwa konsep Megapolitan tidak hanya untuk kepentingan DKI Jakarta semata. Meski ada pihak yang mencurigainya mengincar posisi koordinator Megapolitan, berulangkali juga Sutiyoso menolak hal tersebut. "Siapa yang mau menunjuk aku jadi itu, tidak ada itu. Saya pernah bilang kirim surat saja ke presiden dan bilang jangan pilih Sutiyoso," tambahnya sambil tersenyum. (*)

Oleh Oleh Panca Hari Prabowo
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006