Taiwan memberi perhatian khusus pada hubungannya dengan RRC di bidang ekonomi (investasi, perdagangan, transportasi dan pariwisata) walaupun secara ideologi, politik, diplomasi dan militer berbeda. RRC berada di posisi pertama dalam menarik investasi langsung (FDI) dari Taiwan, disusul Vietnam dan Indonesia.
"Para pengusaha Taiwan melirik Indonesia dan ingin meningkatkan investasi," kata wakil Kantor Ekonomi dan Perdagangan Taipei (TETO), Andrew Hsia, menyuarakan keinginan pengusaha Taiwan dalam lokakarya yang diselenggarakan Pusat Penelitian Politik LIPI dan Chung-Hua Institution for Economic Research-Taiwan ASEAN Research Centre (Cier TASC) Kamis (1/12).
Kedua institusi itu memaparkan hasil penelitian mereka yang bertema "Dinamika dan Status Hubungan Indonesia-Taiwan Saat Ini (The Dynamics and Current Status of Indonesia-Taiwan Relations)". Selain investasi, penelitian itu berisi soal buruh migran Indonesia di Taiwan, pariwisata, Usaha Kecil dan Menengah (UKM), industri otomotif dan elektronik, pertanian dan tantangan-tantangan yang RI dan Taiwan hadapi.
Taiwan merupakan investor terbesar ke-8 di Indonesia selama kurun waktu 1967-2010. Investasi aggregate Taiwan di Indonesia pada akhir September 2010 mencapai 14 miliar dolar AS. Modal yang ditanam Taiwan di Indonesia relatif kecil dibandingkan investasi dari Jepang dan Korea Selatan.
Investor Taiwan rata-rata dari kalangan industri UKM sementara dari Jepang dan Korea Selatan penanam modalnya adalah perusahaan besar.
Investasi Taiwan ke luar China Daratan merupakan bagian dari kebijakan pemerintahnya untuk tidak terlalu bergantung pada RRC.
Nilai investasi Taiwan di China Daratan terus bertambah sejak 1991, areanya juga meluas ke berbagai wilayah di bagian dalam China Daratan, tak lagi berpusat di kawasan pesisir di Southern China Zone (SCZ) yang di dalamnya Taiwan turut membangun untuk menyediakan berbagai fasislitas bagi pengusaha-pengusaha Taiwan.
Dari 1991 hingga akhir Juli 2010, data yang dikeluarkan pihak berwenang di Taiwan menunjukkan nilai investasi kumulatif Taiwan di China Daratan tercatat 90,70 miliar dolar AS.
Kurangi risiko
Karena kebutuhan agar risiko investasi minimum, kawasan Asia Tenggara menjadi lokasi investasi yang disukai untuk UKM. Pada tahun 1990an, investasi UKM terkonsentrasi di sektor padat karya. Pada 1998-2000, investasi Taiwan mulai beralih ke manufaktur produk-produk berteknologi rendah.
Perusahaan-perusahaan Taiwan memainkan peran penting dalam menjembatani modal global ke China Daratan. Dengan demikian, China tertarik ke dalam jaringan produksi global, khususnya dalam produksi teknologi rendah dan tinggi.
Namun, pada pada tahun-tahun belakangan ini belum jelas apakah arus modal dari pengusaha Taiwan akan terus mengalir khususnya ke bagian selatan China, yang jaraknya relatif dekat dengan Taiwan.
Pasalnya, kawasan yang berpenduduk lebih 300 juta itu semakin jenuh dan harga sewa lahan serta ongkos buruh meningkat. Beberapa tahun terakhir sejumlah perusahaan Taiwan menghadapi pemogokan oleh buruh yang menuntut antara lain kenaikan upah.
Integrasi ekonomi itu terus berlanjut karena keduanya saling melengkapi dan membutuhkan. Hal tersebut sesuai dengan tiga strategi Presiden Taiwan Ma Ying-jeou. Pertama adalah membantu Taiwan tumbuh lebih kuat, kedua mengintegrasikan ekonomi di masing-masing sisi Selat Taiwan, dan ketiga menunjukkan kehadiran Taiwan di pentas dunia.
Dengan kata lain, Presiden Ma mengatakan bahwa pemerintahan yang dipimpinnya ingin membantu rakyat berbisnis, memperbaiki iklim usaha dan menandatangani perjanjian ekonomi Lintas Selat dengan China Daratan.
Ini merupakan suatu fakta yang tak dapat dielakkan bahwa Taiwan terisoslasi secara diplomatik dan tak ingin terisolasi secara ekonomi, katanya.
Setelah penandatanganan ECFA dengan China pada 2010, Taiwan akan memainkan peran baru dan memperlihatkan citra berbeda di atlas ekonomi Asia. Taiwan akan merundingkan persetujuan kemitraan perdagangan dan investasi dengan Singapura, Amerika Serikat dan negara-negara lain. Tak terkecuali dengan Indonesia.
Adriana Elisabeth, sebagai koordinator penelitian dari LIPI, mengatakan Indonesia dan Taiwan perlu meningkatkan kerja sama untuk mengatasi kapabilitas ekonomi yang masih asimetris.
"Solusi untuk mengatasi hubungan yang asimetris ini adalah keduanya dapat mendisain kerangka kerja sama melalui Economic Cooperation Arrangement," katanya.
Untuk mencapai ECA, penelitian lebih lanjut diperlukan misal apa untung-rugi kalau Indonesia menandatanganinya, bagaimana prosedur bea cukai, langkah-langkah mengenai Rintangan Teknis atas Perdagangan (TBT), e-Commerce, kekayaan intelektual dan kebijakan kompetisi.
Jelas jalan yang harus dilalui ke arah integrasi ekonomi Indonesia dan Taiwan seperti halnya integrasi ekonomi Taiwan dan China Daratan masih panjang dan cukup banyak faktor yang harus dipertimbangkan.
(M016/A011)
Oleh oleh Mohammad Anthoni
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011