"Ada hubungan kuat antara kinerja yang buruk dalam hal persepsi korupsi dan masalah yang lebih luas di sekitar tata kelola ekonomi."
Berlin (ANTARA News/AFP) - Korupsi menghambat upaya untuk mengatasi krisis utang zona euro, sebuah badan pengawas antikorupsi terkemuka Kamis mengatakan ketika Yunani dan Italia membuat skor lebih buruk dalam daftar negara-negara yang dipandang paling sarat pekerjaan buruk, demikian laporan Transparency International (TI).
Drama ekonomi di kawasan euro berkembang "sebagian karena kegagalan otoritas publik mengatasi penyuapan dan penggelapan pajak yang merupakan pendorong utama krisis utang," catat lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berkantor pusat di Berlin, Jerman, itu.
Pada skala nol (dianggap sangat korup) sampai 10 (dianggap memiliki sedikit korupsi), Italia dan Yunani mencetak skor 3,9 dan Yunani 3,4, masing-masing peringkat 69 dan 80 dalam daftar 182 negara.
Robin Hodess, direktur riset TI, mengatakan bahwa krisis zona euro "mencerminkan manajemen keuangan yang buruk, kurangnya transparansi dan salah urus dana publik."
"Ada hubungan kuat antara kinerja yang buruk dalam hal persepsi korupsi dan masalah yang lebih luas di sekitar tata kelola ekonomi," ujar Hodess kepada AFP.
Ketika korupsi menyebar luas, "orang merasa cubitan di semua tingkatan," katanya, menyerukan Roma dan Athena untuk berbuat "jauh lebih banyak" dalam memerangi korupsi.
Pemerintah "perlu fokus pada bagaimana dana publik dikelola dalam negara," tambah Hodess, mengatakan bahwa baik korupsi skala besar maupun skala kecil harus diperangi.
Secara global, Somalia dan Korea Utara yang dicabik perang, bersama berada dalam daftar paling bawah, dianggap negara-negara yang paling korup di dunia dengan skor 1,0.
Irak naik beberapa tempat dalam daftar, tetapi masih dekat ke bawah pada 175 dan Afghanistan tetap berakar di 180 meskipun berupaya untuk mengekang suap dan korupsi di sana. Libya berada di posisi 168.
Sebagian besar negara-negara "Arab Spring" berperingkat di setengah bagian bawah indeks, mencetak skor empat.
TI mengatakan, pihaknya telah memperingatkan sebelum revolusi di wilayah yang "nepotisme, penyuapan dan patronase begitu mendarah daging dalam kehidupan sehari-hari bahwa sekalipun ada undang-undang anti-korupsi memiliki pengaruh yang kecil."
Di bagian lain, yang lebih bajik, akhir dari skala, Selandia Baru menduduki peringkat teratas dengan skor 9,5 poin, datang persis di depan Denmark, Finlandia, Swedia dan Singapura.
Hampir dua pertiga dari negara yang tercantum memiliki skor kurang dari lima, menunjukkan, menurut TI bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan dalam memerangi korupsi.
"Tahun ini, kita telah melihat korupsi pada spanduk demonstran mereka yang kaya atau miskin," kata Kepala TI, Huguette Labelle.
"Apakah di Eropa yang dilanda krisis utang atau dunia Arab yang memulai era politik baru, para pemimpin harus mengindahkan tuntutan untuk pemerintahan yang lebih baik," ujarnya.
Prancis dan Jerman, yang banyak mencari solusi untuk krisis zona euro, mencetak skor relatif baik, masing-masing datang di peringkat 25 dan 14.
Amerika Serikat (AS) adalah satu tempat di atas Prancis, sementara rekan lokomotif global China menempati urutan ke-75. Rusia salah satu negara terburuk dalam daftar, berada di posisi 143 dengan skor 2,4 poin.
Survei "menggunakan data dari 17 survei yang melihat faktor-faktor seperti penegakan hukum anti-korupsi, akses terhadap informasi dan benturan kepentingan. Korupsi terus mengganggu terlalu banyak negara di seluruh dunia," demikian catatan TI.
(Uu.A026/A023)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011