Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Kehutanan membantah ada kebijakan moratorium terhadap program hutan kemasyarakatan (HKM) dan hutan desa.
"Jadi bukan moratorium, tapi kehati-hatian Menteri Kehutanan. Bapak menteri ingin HKM dan hutan desa itu diterima atau diberikan kepada mereka yang benar-benar berhak, jadi jangan ada masyarakat dan kelompok yang mengaku-ngaku, calo dan sebagainya," kata Direktur Bina Perhutanan Sosial Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan Haryadi Himawan di Jakarta, Rabu.
Ditemui ANTARA disela Lokakarya Nasional "Refleksi Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa Untuk Mempercepat Masyarakat Sekitar Hutan Lebih Sejahtera", Haryadi menjelaskan bahwa pihaknya perlu melakukan klarifikasi mengenai hal itu sehingga tidak terjadi disinformasi.
Lokakarya tersebut diikuti wakil dari dinas kehutanan provinsi, kota/kabupaten, petani-hutan, serta unsur pendamping HKM dan hutan desa dari lembaga swadaya masyarakat dan juga perguruan tinggi dari seluruh Indonesia.
Haryadi Himawan mengemukakan bahwa Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan sendiri, pada Selasa (28/11), dalam pertemuan dengan peserta juga sudah mendengar mengenai masalah tersebut.
"Jadi, yang perlu diklarifikasi adalah tidak ada moratorium (program) HKM dan hutan desa. Nah, sebelum itu deal untuk sementara beliau (Menhut) akan menahan. Tapi, dalam dialog beliau mendengar, dan (program) itu jalan terus, jadi sudah clear dan tidak ada masalah," katanya menegaskan
Ia menjelaskan bahwa dari munculnya isu moratorium itu, yang ternyata tidak benar, dirinya justru melihat ada hikmah.
"Dengan seperti ini, kita semua menjadi jelas, kalau kemarin orang ragu-ragu apa benar HKM dan hutan desa utk pemberdayaan, sekarang bapak menteri yakin, kami di jajaran bawahnya juga yakin," katanya.
Dalam dialog dengan peserta, kata dia, Menhut juga sudah jelas sikapnya. "Yakni `go head`, jalan terus, sehingga kami di birokrasi jadi enak kalau seperti ini," katanya.
"Kita tinggal merancang, memetakan, ada kesulitan apa, kita akan susun prioritas mana yang cepat bisa diselesaikan, tapi untuk diketahui permasalahannya luar biasa, karena menyangkut masyarakat yang ragamnya juga luar biasa," tambahnya.
Karena persoalannya juga macam-macam, kata dia, sehingga perlu ada kategori, yakni mana yang bisa lebih cepat dan mana kategori yang bisa ditangani sendiri.
"Mana yang antarsektor, antarinstansi, dan mana yang perlu dukungan daerah, namun yang jelas satu hal penting adalah pertemuan semacam ini harus lebih sering, sehingga terbangun trust," katanya.
Diakuinya bahwa dalam soal HKM dan hutan desa, pertemuan yang melibatkan parapihak, secara lengkap, dalam arti pemerintah pusat, provinsi, kota/kabupaten, masyarakt tani-hutan sendiri, dan pendamping, baru sekarang ini dilaksanakan.
"Jadi kita akan rencanakan dua kali dalam setahun, namun kita harapkan juga di daerah ada pokja-pokja, jadi persoalan spesifik daerah jangan dibawa ke Jakarta," katanya.
Menurut dia, ada satu keunikan program HKM dan hutan desa, di mana kegiatan yang ada mau tidak mau harus dikerjakan secara bersama-sama.
"Jadi ada saling ketergantungan dan ini bagus, ini juga memperkuat otonomi dalam bingkai NKRI. Karena, kita mau tak mau harus duduk bersama, tidak bisa dikerjakan sendiri," katanya.
Ia menegaskan bahwa ada skema yang mengharuskan pemerintah pusat-daerah dan parapihak lainnya harus duduk bareng guna menyelesaikan masalah yang ada.
Sementara itu, saat ditanya mengenai target HKM seluas 2 juta hektare 2014 apakab bisa tercapai, ia kalau kategorinya adalah verifikasi, pihaknya yakin.
"Tapi kalau izin penetapan, jika tidak ada perubahan paradigma mendasar, termasuk kebijakan anggaran, perlunya pendamping, maka memang masih ada kendala," katanya.
Menurut Direktur Eksekutif Konsorsium Untuk Studi dan Pengembangan Partisipasi (Konsepsi) Nusa Tenggara Barat Rahmad Sabani, sebagai pendamping masyarakat tani-hutan Desa Santong, Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara, penegasan mengenai tidak adanya moratorium HKM dan hutan desa itu melegakan.
"Artinya, peluang desa-desa yang mengajukan HKM dan hutan desa, bisa terus dilanjutkan," kata Rahmat Sabani, yang baru saja mengantarkan masyarakat desa itu mendapatkan persetujuan izin usaha untuk pemanfaatan hutan kemasyarakatan (IUPHKM) oleh Kemhut.
Hutan Santong seluas 758 hektare juga meraih sertifikasi ekolabel pertama di Indonesia untuk jenis hutan kemasyarakatan, yang diterima oleh Ketua Koperasi Tani-Hutan "Maju Bersama" Artim (46), yang mengelola HKM itu.
Artim menerima apresiasi atas sertifikasi itu dari Menteri Kehutanan bersamaan pada puncak peringatan Hari Menanam Pohon Indonesia (HMPI) dan Bulan Menanam Nasional (BMN) 2011 di Sentul, Kabupaten Bogor pada Senin (28/11) yang juga dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Menurut Gladi Hardiyanto dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), hutan yang dikelola masyarakat di areal hutan negara dalam bentuk HKM di Santong, NTB, menjadi areal HKM pertama di Indonesia yang lulus penilaian sertifikasi ekolabel sistem LEI.
Pada 14-18 Juli dan 26-27 Juli 2011 telah dilakukan proses penilaian dan pengambilan keputusan sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBML) skema LEI atas areal HKM Santong.
Tim pakar PT Mutu Agung Lestari (MAL) yang melakukan penilaian menyatakan bahwa areal HKM Santong lulus dalam penilaian sertifikasi PHBML skema LEI.
"Hal ini merupakan bentuk penghargaan dan apresiasi dan pengakuan dari konsituen LEI melalui mekanisme sertifikasi pengelolaan hutan lestari kepada para pihak yang terlibat dalam proses pengembangan HKM di wilayah tersebut," katanya.
Ia mengharapkan, dengan sertifikasi ekolabel pertama untuk HKm itu, berbagai HKM lain di berbagai daerah di Indonesia bisa mengikuti langkah yang telah dilakukan HKM di Desa Santong tersebut.
(A035)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011