Paris (ANTARA News) - Pernah hanya dipandang sebagai masalah kepentingan kaum hijau dan akademisi saja, ancaman yang ditimbulkan perubahan iklim terhadap keamanan kini dipandang dengan penuh keprihatinan oleh para politisi dan kalangan pembesar pertahanan.
Kekeringan dan banjir yang menghancurkan panenanan dan kenaikan muka laut yang membahayakan kota-kota pantai akan menjadi pemicu kuat kelaparan, penyakit dan ketunawismaan, yang pada gilirannya meningkatkan ketegangan dan mengarah pada kerusuhan, kata para pakar, lapor AFP.
Sungguh, sejumlah orang mencurigai bahwa perubahan iklim sudah menjadi pendorong ergolakan yang tak kelihatan.
Konflik di Darfur Sudan, yang disebabkan kekeringan luar biasa hingga memiskinkan komunitas-komunitas penggembala dan memaksa mereka bermigrasi, pernah disebut hanya sebagai sebuah ilustrasi bagi masalah seperti itu.
Contoh lain mungkin revolusi tahun ini di Tunisia dan Mesir, dimana harga makanan, didorong oleh gelombang panas yang menghancurkan di negara-negara penghasil biji-bijian besar, meniup kelaparan, dan kemudian kemarahan, diantara kaum miskin.
"Kejadian-kejadian cuaca ekstrim terus meningkat lebih sering dan kuat di negara-negara kaya maupun miskin, tidak hanya menghancurkan kehidupan namun juga infrastruktur, institusi dan anggaran -- peristiwa keterlaluan yang dapat menciptakan kevakuman keamanan yang berbahaya," kata Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon Juli pada debat Dewan Keamanan.
Perubahan iklim "tidak hanya memperburuk ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional namun benar-benar sudah menjadi ancaman bagi perdamaian dan keamanan internasional," katanya.
Dalam Tinjauan Pertahanan Empattahunan 2010-nya, Pentagon mengatakan perubahan iklim "dapat mempunyai dampak geopolitis signifikan di seluruh dunia, menyumbangkan kemiskinan, degradasi lingkungan dan lebih lanjut melemahkan pemerintah-pemerintah yang rapuh."
"Sementara perubahan iklim saja tidak menyebabkan konflik, ia mungkin bertindak sebagai pemercepat instabilitas dan konflik," katanya.
Laksamana Muda Neil Morisetti, seorang utusan iklim dan keamanan energi pada kementerian pertahanan Inggris, mengatakan migrasi iklim menjadi satu dari sejumlah faktor tersembunyi dalam persamaan ini.
"Apa yang terjadi terhadap mereka yang kehilangan tanah atau yang kehilangan mata pencaharian mereka?" kata Morisetti pada sebuah konferensi di London bulan lalu.
"Jika mereka migrasi, apakah itu terencana, terkoordinasi, migrasi yang dapat ditangani dalam sebuah negara atau antar negara? Atau hal itu merupakan migrasi massal yang tak terencana yang menyebabkan ketegangan?
"Jika mereka kehilangan mata pencahariannya karena kenaikan muka laut, kenaikan suhu, kehilangan hasil panenan, apakah mereka mendapatkan penghidupan yang sah untuk menggantikannya? Atau apakah mereka rentan terhadap perekrutan kriminal, pada akhirnya (menjadi) teroris AK-47 lima dolar sehari?"
Morisetti mengatakan risiko terbesar berada "di wilayah ekuator, dimana kami menyaksikan lagi konflik waktu demi waktu dalam 40 atau 50 tahun, sebagian karena negara-negara itu dan pemerintah mereka tidak memiliki kapasitas dan ketahanan untuk mengatasi tekanan-tekanan tersebut dan memelihara populasi mereka."
Dalam sebuah makalah yang diterbitkan bulan lalu oleh jurnal Sains AS, sebuah tim periset internasional mengatakan "pemukiman kembali terkait-iklim" sudah dijalankan di delta Mekong Vietnam, sepanjang Sungai Limpopo di Mozambique, di Monggolia Dalam China, pantai Alaska dan Kepulauan Carteret di Papua Nugini.
Seruan minta tolong untuk memastikan migrasi adil dan tertib, mereka mendesakkan perubahan-perubahan pada hukum nasional dan internasional dan keterlibatan komunitas-komunitas yang terancam iklim dalam memutuskan dimana mereka akan kembali ditempatkan.
Faktor-faktor lain di pertemuan buram antara iklim dan keamanan adalah kesehatan -- terutama melalui ekspansi nyamuk-dan penyakit yang terbawa air -- dan risiko kelaparan dan kemiskinan akibat kenaikan harga makanan.
Gandum, jagung dan sorgum semuanya mengalami kenaikan secara global selama 18 bulan terakhir, namun di Tanjung Afrika yang dilanda kekeringan harganya terkadang berlipat ganda bahkan tiga kali lipat dibanding rata-rata lima tahun.
Beras di Thailand dan Vietnam yang terkena banjir sekitar 25 persen lebih mahal daripada setahun lampau.
Pada Februari, Bank Dunia mengestimasi 44 juta orang di ekonomi berkembang merosot ke kemiskinan ekstrim akibat harga makanan yang terus naik.
"Bagi kaum termiskin yang membelanjakan hingga 75 persen dari pendapatan mereka untuk makan, kenaikan harga dalam skala ini bisa membawa konsekuensi ketika keluarga dipaksa menerima kompromi yang tidak mungkin dalam keputusasaan untuk memberi makan diri mereka sendiri," kata Oxfam Senin pada awal pembicaraan iklim PBB di Durban, Afrika Selatan. (K004)
Penerjemah: Kunto Wibisono
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011