Jakarta (ANTARA News) - Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie bersama anggota DPR RI dari Komisi I dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), menggelar pertemuan tertutup untuk membahas Undang-Undang tentang Penyiaran yang saat ini masih menjadi polemik. Pertemuan yang berlangsung mulai Jumat pagi itu tidak dihadiri Menteri Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil, bahkan para wartawan sempat diminta keluar ketika hendak meliput pertemuan tersebut. "Pertemuan tertutup itu dihadiri oleh Ketua MK, KPI, dan sejumlah anggota Komisi I DPR untuk membahas Undang-Undang tentang Penyiaran," kata petugas Humas Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Jumat. Namun ketika ditanya apakah pertemuan itu juga akan membahas mengenai keterkaitannya MK yang memiliki saham di salah satu televisi swasta dengan UU penyiaran, ia menolak menjawabnya. Sementara itu Komisi III (bidang hukum) DPR RI menduga ada konflik kepentingan terutama kepentingan bisnis yang sangat kuat pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai judicial review UU tentang Penyiaran, karena itu putusan MK yang memenangkan penggugat dari kalangan industri penyiaran perlu ditinjau ulang. Hal itu disampaikan Wakil Ketua Komisi III Akil Mochtar di Gedung DPR/MPR berkaitan dengan keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) mengenai Penyiaran yang didasarkan pada UU tentang Penyiaran. PP tentang Penyiaran menimbulkan pro-kontra di kalangan publik. Akil mengatakan, konflik kepentingan dan kepentingan bisnis mewarnai putusan MK. Hal itu bisa disimak dari adanya kepemilikan saham majelis hakim MK yang menangani perkara ini di salah satu stasiun televisi swasta. Akil mengakui tidak ada larangan majelis hakim MK menangani perkara judicial review UU tentang Penyiaran. Hanya saja kurang tepat apabila hakim yang menangani perkara ini ternyata memiliki saham di televisi swasta. Yang juga dipersoalkan Akil Mochtar adalah, kepemilikan saham itu tidak masuk dalam daftar laporan kekayaan Pejabat Negara (LJPN) saat menjalani `fit and proper test` sebagai calon majelis hakim MK di DPR RI. Dia mengatakan, tidak ada laporan mengenai kepemilikan saham tersebut menyebabkan kalangan DPR RI khususnya Komisi III baru tahu mengenai hal itu. "Kalau tahu dari dulu pasti kita persoalkan," katanya. Adanya kepemilikan saham sekaligus menjadi hakim perkara judicial review UU tentang penyiaran, kata Akil, menyebabkan putusan MK tidak netral karena ada konflik kepentingan. DPR juga merasa dirugikan dalam putusan MK yang memenangkan penggugat judicial review karena ada juga hakim MK yang menangani perkara ini ternyata penasihat pemerintah dalam pembahasan UU tentang Penyiaran di DPR.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006