Jakarta (ANTARA News) - Indonesia sebagai negara kepulauan, sudah seharusnya mengoptimalkan sumber energi laut (ocean energy) seperti pasang surut, gelombang, arus, OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), sehingga mampu mengatasi krisis energi di dalam negeri saat ini, kata pakar kelautan Prof Sahala Hutabarat.
"Ada biofuel yang berasal dari ganggang laut dan relatif lebih murah dan masih begitu melimpah potensinya di bumi Indonesia," kata Sahala yang menjabat sebagai Dewan Pembina Indonesia Maritime Institute (IMI) kepada wartawan, di Jakarta, Senin.
Sahala mengemukakan hal itu menanggapi bahwa rencana pemerintah Indonesia untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang juga mendapat penolakan dari berbagai pakar keluatan. "Jepang sebagai negara maju, yang menggunakan Nuklir juga masih bisa bocor, apalagi Indonesia, sebagai wilayah rawan gempa, tak cocok jika mengembangkan PLTN," katanya.
Menurut Sahala, bocornya Nuklir di Jepang bisa menjadi pembelajaran bagi Indonesia sebagai kawasan yang rawan gempa. Sudah seharusnya dapat belajar dari pengalaman Jepang dalam mempersiapkan diri guna menghadapi bencana alam gempa melalui standar keamanan yang sangat tinggi.
"Melihat pengalaman negara Jepang dalam menangani gempa dan gelombang tsunami dengan telah menerapkan teknologi yang demikian maju tetapi masih tetap tidak mempu mengalahkan alam. Maka sudah sepantasnya laut harus dijadikan acuan untuk menutupi krisis energi di Indonesia," ujarnya.
Sahala mengingatkan, agar bangsa Indonesia menimba pengalaman jepang dan meninjau ulang tentang rencana pendirian PLTN yang rencananya akan di bangun di Semenanjung Gunung Muria, Jepara (Jawa Tengah), di Propinsi Banten maupun di Propinsi Bangka Belitung. Rencana tersebut harus direncanakan secara cermat dan hati-hati, mengingat resiko yang akan dihadapi apabila terjadi kebocoran dari reaktor PLTN tersebut.
"Memang ketiga Propinsi tersebut merupakan daerah yang belum pernah mengalami gempa bumi, tetapi harus diingat bahwa Indonesia dan Jepang bersama negara Asia lainnya seperti Filipina, Korea, negara di lautan Pasifik merupakan negara kepulauan juga berada di daerah lempengan tektonik Pasifik, Euro-Asia dan Australia yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan gempa dan tsunami. Sejarah membuktikan bahwa umumnya gempa akan terjadi dan terulang kembali pada kisaran waktu 140-150 tahun akibat pergeseran lempengan tektonik yang bergerak antara 1,5 sampai 7,5 centimeter setiap tahun," katanya.
Hal yang sama dikatakan oleh Doktor lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB), Y Paonganan bahwa daripada harus mengambil resiko membangun PLTN, sebaiknya memanfaatkan laut yang bisa dijadikan sebagai sumber energi atau yang disebut Ocean Energy.
"Bisa dibangun di tiap-tiap pulau, ramah lingkungan dan tak ada limbah, bahkan selain biaya untuk ocean energy jauh lebih murah daripada PLTN dan PLTU. Ocean energy juga ramah lingkungan atau bebas emisi ," paparnya.
Mengenai bisa diantisifasinya kebocoran Nuklir oleh para ahli, lagi-lagi Paonganan yang juga direktur eksekutif Indonesia Maritime Institute (IMI) menolaknya. Kata Ongen, panggilan akrabnya, meski ahli nuklir menjamin tidak ada kebocoran reaktor. Tapi, laut tidak akan menerima, jika airnya dialirkan untuk pendingin reaktor.
"Coba bayangkan berapa kubik air laut yang akan disalurkan untuk pendingan reaktor per hari, tentunya ini akan mempengaruhi ekosistemnya," tandasnya. (*)
Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011