Jakarta (ANTARA News) - Sebelum aksi perlawanan meletus pada Maret, tampaknya tak ada orang yang menduga apa yang terjadi pada masyarakat internasional, pemerintah di Damaskus sangat tangguh dan bisa membawa kemakmuran bagi warganya, tapi ungkapan ketidakpuasan warganya menebar perpecahan di luar negeri.
Pemerintah Suriah juga mampu "keluar sebagai pemenang" dari benturan diplomatik selama satu dasawarsa dengan AS, yang memaksanya mengubah kebijakan mengenai Irak, Lebanon dan hubungan dengan Iran, Hizbullah serta HAMAS.
Tapi sekarang, keterkotak-kotakan terlihat jelas, sementara pertikaian di dalam negerinya mulai bersifat sektarian. Kubu oposisi Suriah didukung oleh kebanyakan negara Sunni di Teluk, dan Turki serta Liga Arab menjadi pelopor, sementara Iran, Hizbullah dan, yang cukup aneh, Perdana Menteri Irak, Nouri Al Maliki telah tampil sebagai pendukung pemerintah Suriah. Ada juga negara di luar wilayah tersebut yang tak bisa berdiam diri.
Selain itu, Israel, pendukung kuatnya --Amerika Serikat, serta sekutu mereka di Eropa melancarkan tekanan atas perintah Suriah --lagi-lagi-- melalui rejim sanksi, praktek yang selalu menyengsarakan rakyat tapi tak pernah menjatuhkan pemerintah di negara sasaran.
Kegagalan kubu oposisi Suriah untuk menjatuhkan pemerintah, setelah delapan bulan protes "damai", telah membuat beberapa negara Sunni mempertimbangkan dukungan politik dan diplomatik lebih kuat.
Turki, yang menjadi penampung Tentara Suriah Bebas, kelompok tentara pembelot Suriah yang berfaham Sunni, bersama negara lain di Teluk memelopori upaya terpadu di Liga Arab untuk mengucilkan rejim Suriah. Mereka berusaha menghukum pemerintah Presiden Bashar al-Assad secara ekonomi.
Liga Arab sendiri --yang biasanya menghindari tindakan terhadap anggotanya-- memutuskan dalam satu pertemuan di Maroko baru-baru ini untuk meminta para ahlinya agar merancang saran tentang sanksi ekonomi atas Suriah.
Jadi ada tiga alasan itu lah pemerintah di Damaskus bisa berbicara mengenai persekongkolan asing untuk menggulingkannya.
Pembelotan tentara Suriah yang terus meningkat tak menimbulkan ancaman mematikan bagi Presiden Bashar al-Assad, tapi dukungan dari luar dapat mengubah para pembangkang tersebut jadi kelompok perlawanan nasional yang mampu mengganggu dan menghabiskan tenaga militernya.
Sementara itu, tindakan pemerintah Suriah, yang cenderung mengabaikan delapan bulan, bisa memberi alasan bagi pihak asing untuk campur tangan.
Musuh Suriah di wilayah tersebut dan di kancah internasional tentu saja segera meraih kesempatan untuk berusaha mengubah keseimbangan kekuatan regional ke pihak yang menguntungkan mereka. Bagi mereka, itu bukan mengenai Suriah, itu bukan mengenai kebebasan ataupun demokrasi buat rakyat Suriah. Itu lebih condong pada mengenai Iran dan pengaruhnya yang bertambah.
Satu-satunya cara untuk memangkas jangkauan pengaruh Teheran, mengekang berkembangnya kekuasaannya dan mencegahnya meraih keuntungan dari penarikan peran AS di wilayah itu ialah dengan mencegahnya berhubungan dengan bagian lain negara Syiah.
Aksi perlawanan di Suriah memberi mereka kesempatan emas dan mereka pun memanfaatkan itu semaksimal mungkin.
Bagi pemrotes di Suriah, keseimbangan kekuasaan regional adalah perhatian terakhir mereka. Mereka tak sepenuh hati peduli dengan betapa rumitnya konteks regional dan internasional.
Yang mereka inginkan ialah mencapai pemerintahan yang baik, bertanggung jawab, bebas dan berdaulat. Jika, karena alasan tertentu, kepentingan mereka dan kepentingan negara regional bertumpang-tindih atau beriringan, itu adalah kondisi yang tak benar-benar mereka ingini.
Saat negara itu kian terdesak ke jurang perang saudara, Bashar diperkirakan berusaha mencegah kelompok oposisi memiliki wilayah untuk mengatur aksi gerilyawan.
Usaha Bashar dipandang lebih mudah jika mantan tentara tak bisa memiliki bantuan keahlian dari luar negeri dalam menangani logistik dan pelatihan anggota baru mereka.
Tapi tak jelas apakah para pembelot telah mampu membina jaringan semacam itu, baik dari dalam maupun luar Suriah.
Pegiat oposisi yang berpusat di Inggris, Samer Afndi, mengatakan kepada Reuters bahwa jika mereka mendapat bantuan dari Turki atau negara tertentu Arab, mungkin diperlukan waktu lima, enam atau delapan bulan untuk mengalahkan rejim Bashar. Tanpa bantuan dari luar, akan diperlukan waktu lebih lama lagi.
Moral kubu oposisi tampaknya meningkat oleh serangan tentara pembelot terhadap satu kompleks dinas intelijen Angkatan Udara Suriah di Harasta, dekat ibu kota negeri tersebut, Damaskus, pada Rabu (16/11), sehingga menewaskan atau melukai 20 polisi.
Itu adalah serangan pertama dalam delapan bulan aksi perlawanan terhadap kekuasaan Bashar oleh pemerotes, yang diilhami oleh aksi perlawanan yang menggulingkan pemimpin Tunisia, Mesir dan Libya --yang dikenal dengan nama "Arab Spring".
Penentangan campur-tangan
Tapi kondisi di Suriah, berbeda dengan apa yang terjadi di tiga negara Afrika tersebut. Dalam komunike yang disahkan di Moskow, Rusia, Kamis (24/11) dalam pertemuan BRICS --Brazil, Russia, India dan China, wakil menteri luar negeri keempat negara itu menyatakan pembicaraan segera yang melibatkan semua pihak adalah satu-satunya cara menyelesaikan krisis di Suriah.
Rusia sudah menyampaikan penentangan dikeluarkannya resolusi terhadap atau tekanan atas Suriah. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Alexander Lukashevich diberitakan telah mengatakan apa yang diperlukan oleh Suriah adalah dialog politik internal dan bukan campur tangan tangan internasional.
Rusia berpendapat penggunaan kekuatan asing sama sekali tak dapat diterima, sementara masalah hak asasi manusia tak boleh digunakan sebagai dalih untuk melancarkan agresi militer seperti yang terjadi di Libya.
Tapi tekanan juga tak kalah kuat dibandingkan dengan dukungan bagi Presiden Bashar al-Assad agar mengakhiri penindasan terhadap demonstran prodemokrasi, setelah Suriah pada Jumat (25/11) gagal menanggapi tenggat Liga Arab bagi pengiriman misi pengamat.
Pada Kamis, para menteri luar negeri Arab bertemu di ibu kota Mesir, Kairo, dan menyatakan jika Suriah tak menyepakati pengiriman pemantau ke negeri tersebut untuk menilai kemajuan rencana Liga Arab guna mengakhiri pertumpahan darah selama delapan bulan, maka para pejabat segera mempertimbangkan penerapan sanksi.
Sanksi tersebut meliputi penghentian penerbangan, pengekangan perdagangan dan penghentian semua transaksi dengan bank sentral negara Arab itu.
"Tenggat sudah berakhir, tapi Liga Arab tetap membuka pintu bagi Suriah untuk memberi jawaban sampai hari berganti dan jika reaksi positif Suriah diberikan pada Jumat (25/11), maka Liga Arab tak keberatan untuk menyepakatinya," kata satu sumber Arab sebagaimana diberitakan.
Berdasarkan gagasan Liga Arab pada 2 November, Suriah setuju untuk menarik tentara dari daerah perkotaan, membebaskan tahanan politik, memulai dialog dengan oposisi dan mengizinkan pemantau serta media internasional memasuki negeri tersebut.
Tapi sejak itu, ratusan orang, termasuk warga sipil, pasukan keamanan dan tentara pembelot, telah tewas sementara kerusuhan yang menurut PBB telah merenggut sedikitnya 3.500 orang sejak Maret terus berlanjut.
Turki, negara regional selain Israel yang bersuara lantang terhadap Suriah, Jumat (25/11) dilaporkan menyatakan Ankara tak bisa lagi mentoleransi kerusuhan dan siap melakukan tindakan bersama negara lain Arab, kalau Bashar gagal melakukan tindakan guna mengakhiri penindasan.
Meningkatnya tekanan setelah Prancis pada Kamis (24/11) mengusulkan pembentukan "koridor kemanusiaan guna menyalurkan pangan dan obat" buat meringankan penderitaan warga sipil.
Menurut satu sumber diplomatik Barat, rencana Prancis tersebut --dengan atau tanpa persetujuan Damaskus-- "dapat menghubungkan pusat masyarakat sipil Suriah dengan perbatasan Turki dan Lebanon, lalu menuju pantai Laut Tengah atau ke satu bandar udara".
Tujuannya ialah untuk "memungkinkan pasokan bantuan kemanusiaan atau medis buat warga yang menderita.
Namun kondisi serupa tak pernah dilakukan buat orang Palestina yang dikepung Yahudi dan menderita di Jalur Gaza. Bahkan setiap kali ada kelompok organisasi bantuan yang berusaha mengirim bantuan ke wilayah yang dikuasai HAMAS tersebut dan Israel bertindak, tak ada negara Barat yang mengecam tindakan Tel Aviv. Mereka bahkan "memaklumi" tindakan penguasa Yahudi, dengan alasan "Israel berusaha mencegah masuknya senjata tidak sah ke wilayah Palestina dan jatuh ke tangan gerilyawan".
Tapi sekutu Suriah, Rusia telah menuduh negara Barat berusaha menetapkan panggung bagi campur-tangan bersenjata, seperti yang mereka lakukan di Libya.
Sementara itu ada pendapat bahwa kekuatan militer Suriah bisa terkikis sementara wilayah yang bisa didatanginya pun bisa makin terbatas.
Secara diplomatik, Bashar tampaknya kian terkucil, faktor yang akhirnya bisa menimbulkan keseimbangan posisi di lapangan.
Meskipun demikian, Bashar (46) tampaknya siap memerangi oposisi dan tentara pembelot, sementara kekhawatiran merebak mengenai perang sektarian jika susunan masyarakat Suriah yang multi-entik dan aliran agama terguncang.
(C003)
Oleh Chaidar Abdullah
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011