Surabaya (ANTARA News) - Anggota BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) Drs Baharuddin Aritonang MHum menyatakan, pihaknya akan segera melakukan audit kinerja atas banyaknya lembaga di pemerintahan, termasuk penegak hukum yang berjumlah 18 lembaga.
"Kami sekarang masih melakukan audit keuangan negara, tapi kalau kami sudah menuntaskan semua laporan audit pada 2007, maka kami akan segera melakukan audit kinerja lembaga pemerintahan terkait efektifitas mereka. Itu juga tugas yang diamanatkan UUD kepada kami," katanya di Surabaya, Kamis.
Ia mengemukakan hal itu dalam diskusi nasional "Pemulihan Ekonomi Melalui Upaya Penegakan Hukum" dengan pembicara lain Jaksa Agung Muda bidang Perdata dan Tata Usaha Negara/TUN (JAMDATUN) H Alex Sato Bya SH, Pandu Djayanto SH LLM (staf ahli Menneg BUMN), dan Prof Dr Indriyanto Seno Adji SH MH (guru besar UI).
Di hadapan sekitar 150 peserta diskusi yang digelar Ikatan Alumni (IKA) Universitas Surabaya (Ubaya) itu, ia menjelaskan UUD 1945 yang lama mencatat lembaga negara adalah MPR, DPA, presiden, DPR, BPK, dan MA (Mahkamah Agung).
"UUD 1945 baru yang merupakan hasil amandemen mencatat lembaga negara adalah DPR, DPD, MPR, Presiden/Wapres, MK (mahkamah konstitusi), MA, KY (komisi yudisial), dan BPK, tapi di luar itu juga lahir lembaga negara (komisi-komisi) yang dibuat dengan UU," katanya.
Menurut dia, ada sekitar 50 lembaga baru yang berbentuk komisi, diantaranya Komisi Nasional (Komnas) HAM, KPK (komisi pemberantasan korupsi), Komisi Ombudsman, KPPU, KKR, KPI, Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor), dan sebagainya.
"Semua lembaga atau komisi itu memakai APBN dan tidak sedikit yang tumpang tindih, seperti adanya belasan lembaga penegak hukum di luar Kejaksaan dan Kepolisian, padahal sebenarnya cukup dilakukan dengan mengefektifkan lembaga yang sudah ada," katanya.
Selain itu, katanya, lembaga pemeriksa juga tumpang tindih, karena ada BPK, BPKP, Bawasda, Irjen, dan sebagainya, padahal jika mengacu UUD 1945 seharusnya cukup dengan BPK yang dibentuk hingga ke daerah-daerah, kemudian jika ingin lembaga pemeriksa internal tentu cukup satu saja.
"Masalahnya, banyaknya lembaga itu justru akan menghilangkan tugas negara untuk sebesar-besarnya mengupayakan kemakmuran rakyat. Kalau banyak lembaga, tentu anggaran akan habis, apalagi ada daerah yang menganggarkan rumah untuk gubernur Rp18 miliar, tapi anggaran untuk busung lapar hanya Rp1,8 miliar, lalu apa gunanya ada negara," katanya.
Hal itu diakui Jaksa Agung Muda bidang Perdata dan Tata Usaha Negara/TUN (JAMDATUN) H Alex Sato Bya SH selaku pembicara lain. "Ada 18 penegak hukum yang mengklaim sama-sama berwenang melakukan tugas penyelidikan dan penyidikan," katanya.
Menurut dia, pihaknya selama ini harus berhati-hati dalam menangani perkara agar tak terjadi konflik dengan penegak hukum lainnya, seperti dalam perkara BLBI yang justru banyak tangan dan akhirnya tak terkontrol.
"Kami bangga jika akhirnya ada debitor nakal (pengemplang) yang mengembalikan uang rakyat, tapi kalau banyak tangan bisa saja justru pemberantasan korupsi akan semakin tidak fokus, karena uang yang ada akan kemana-mana," katanya.
Ia mencontohkan adanya sengketa antara Departemen Kehutanan dengan Sekretariat Negara (Setneg) yang akhirnya JAMDATUN bertindak sebagai mediasi.
"Dephut minta yang Rp36 miliar yang dipinjamkan ke Setneg, sehingga kami harus bertanya kepada pak Yusril Ihza Mahendra (Mensesneg). Jadi, kita nggak tahu kalau uang kita sudah kemana-mana, kita juga akhirnya sulit mengontrol, karena nggak fokus," katanya.
Dalam diskusi itu, JAMDATUN menambahkan pihaknya sudah sering memberi bantuan hukum kepada instansi terkait dua gejala yakni maraknya gugatan class action dan maraknya gugatan perdata kepada negara seperti gugatan atas tanah PT Telkom dan tanah RS Fatmawati milik Depkes.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006