Jakarta (ANTARA News) - Kasus korupsi yang melibatkan lima mantan pegawai Mahkamah Agung (MA), Kamis, mulai disidangkan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Jakarta. Perkara kelima terdakwa itu dipisah kedalam tiga berkas yang disidangkan secara berurutan di pengadilan tersebut. Sidang pertama dengan terdakwa Malem Pagi Sinuhaji dan Sriyadi. Keduanya didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi dengan cara menjadi perantara dalam proses kasasi kasus korupsi hutan tanaman industri dengan terdakwa Probosutedjo. Selain Malem Pagi Sinuhaji dan Sriyadi, tiga yang lain yakni Sudi Ahmad dan Suhartoyo serta Pono Waluyo juga didakwa melakukan perbuatan yang sama. Mereka didakwa telah bekerjasama dengan kuasa hukum Probosutedjo untuk kasus kasasi itu, yakni Harini Wiyoso, yang disidangkan dalam berkas terpisah. Kasus tersebut berawal pada saat Harini Wiyoso menghubungi Pono Waluyu pada sekitar Agustus 2005. Dalam kesempatan itu, Harini menanyakan kepada Pono bagaimana cara melakukan pendekatan khusus kepada saksi Bagir Manan selaku Hakim Ketua Majelis Kasasi dengan maksud supaya saksi Bagir Manan yang juga menjabat sebagai Ketua MA mau mengabulkan permohonan kasasi yang telah diajukan oleh Probosutedjo. "Dalam pertemuan itu, terdakwa Pono Waluyo mengatakan bahwa anggota majelis hakim kasasi yaitu pembaca satu (P1) dan pembaca dua (P2) sudah beres. Atas maksud tersebut, Pono Waluyo menyanggupinya," kata Endro Wasistomo, anggota tim jaksa penuntut umum dari KPK yang menangangi kasus Pono Waluyo saat membacakan surat dakwaan. Selanjutnya Pono Waluyo menghubungi pegawai MA lainnya, yakni Sudi Ahmad dan Suhartoyo untuk menyampaikan keinginan Harini itu. Kemudian atas kesepakatan mereka bertiga, Pono mengatakan bahwa dana yang diperlukan untuk mengurus hal tersebut adalah Rp1 miliar dan mereka membutuhkan tambahan Rp500 juta, sehingga total dana yang diperlukan adalah Rp1,5 miliar. Pono Waluyo, Sudi Ahmad dan Suhartoyo kemudian menghubungi Malem Pagi Sinuhaji dan Sriyadi untuk membicarakan permintaan Harini itu. Lagi-lagi Pono Waluyo datang ke Harini dan meminta Rp100 juta untuk biaya operasional. Pada 29 September 2005, Pono Waluyo diminta untuk menemui Harini dan diajak bertemu dengan Probosutedjo di kantornya di PT Mercu Buana di Gedung Kedaung Jl. Menteng Raya, Jakarta. Saat itu, Pono diperkenalkan sebagai orang MA yang mengurus perkara kasasi Probosutedjo. "Saat itu terdakwa Pono Waluyo mengatakan kepada Probo bahwa putusannya sudah ada dan Bagir Manan meminta uangnya. Selanjutnya atas permintaan tersebut, Probosutedjo mengatakan kalau pagi-pagi tidak bisa mengeluarkan uang dan nantgi saja antara pukul 12-13," kata Endro Wasistomo. Selanjutnya, pada siang hari, Harini dan Pono kembali datang dan oleh staf Probosutedjo, yakni Tri Widodo mereka diminta untuk ke rumah Probo di Jl. Diponegoro untuk mengambil uang di sana. "Kedatangan mereka telah ditunggu saksi Probosutedjo yang telah mempersiapkan sejumlah uang yang disimpan dalam dua buah kardus," katanya. Dua buah kardus tersebut masing-masing berisi uang 100 ribu dolar AS dan Rp800 juta. Sementara untuk kardus kedua berisi 300 ribu dolar AS. Setelah memberikan uang tersebut, Probo meminta jaminan apakah betul-betul uang itu akan sampai ke Bagir Manan yang dijawab oleh Harini bahwa ia menjaminnya. Pada akhirnya, uang dalam kardus pertama itu dibagi-bagikan kepada Sudi Ahmad sebesar Rp100 juta, Pono Waluyo Rp100 juta, Suhartoyo Rp100 juta dan sisanya Rp200 juta disimpan Pono Waluyo. Kemudian sisanya sebanyak 30 ikat uang pecahan Rp100 ribu senilai total Rp300 juta dan 10 ikat uang pecahan 100 dolar AS senilai total 100 ribu dolar AS dipindahkan saksi Sudi Ahmad ke kardus yang lain. Sementara itu, uang yang berasal dari kardus kedua yang berisikan 300 ribu dolar AS kemudian dibawa Harini dan Pono Waluyo. Dari jumlah tersebut 50 ribu dolar diambil Harini dan 50 ribu dolar oleh Pono Waluyo sehingga sisanya tinggal 200 ribu dolar. "Harini kemudian mengatakan, besok sisa uang sebesar 200 ribu dolar AS agar dibawa ke kantor MA untuk ditukarkan dengan rupiah karena rencananya akan diserahkan kepada kakaknya, tetapi Bagir Manan di Lampung, namun rencana itu tidak terlaksana karena pada malamnya Harini dan Pono ditangkap KPK," katanya. Para terdakwa diancam dengan pasal 6 ayat (1) huruf a UU No 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 jo pasal 55 ayat (1) kesatu jo pasal 53 KUHP. Pada dakwaan kedua, mereka didakwa dengan pasal 5 ayat (2) UU No 31/1999 sebagaimana diubah UU No 20/2001 tentang tindak pidana korupsi yakni menerima pemberian sejumlah uang dimana pemberian itu patut diduga berkaitan dengan jabatan atau kewajiban dalam jabatannya.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006