"Ini adalah `good cost` karena tanpa biaya pemerintah (APBN), penggunaan kayu dari hutan milik rakyat oleh industri bisa menggerakkan pembangunan hutan rakyat dan memperluas tutupan hutan"

Jakarta (ANTARA News) - Hampir seluruh industri nasional selama ini dikenal sangat tertutup, mandiri, dan tidak jarang bersifat monopoli dari hulu sampai hilir dalam memenuhi kebutuhan bahan baku produksinya.

Namun, paradigma itu kini justru makin sulit ditemui di lingkungan industri pengolahan kayu lapis.

Jika sebelumnya industri kayu lapis mengandalkan bahan baku dari hutan alam dan penyediaan bahan baku kayu itu hanya dapat dilakukan oleh perusahaan besar, kini mereka mulai berpaling pada bahan baku kayu dari hutan yang dikelola masyarakat.

Hal itu tidak lepas dari kondisi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu di hutan alam (IUPHK-HA/HPH) yang "mati suri" karena terpaan krisis ekonomi dan keuangan di pertengahan 1997.

Kondisi yang tidak menguntungkan itu makin diperburuk oleh penyerobotan lahan dan okupansi yang dilakukan masyarakat yang selama ini terpinggirkan dari gempita pembangunan kehutanan. Apalagi di belakang mereka berdiri cukong dan orang kaya yang mampu menyediakan dana untuk membangun kebun sawit di areal IUPHHK-HA, sebelumnya dikenal dengan nama hak pengusahaan hutan (HPH).

Sementara itu, upaya pemberantasan pembalakan haram yang kemudian digelar pemerintah dalam upaya untuk menekan ekspor kayu gelondongan ilegal di satu sisi memang membuahkan hasil positif. Namun, operasi itu juga menimbulkan ekses negatif karena HPH resmi pada akhirnya juga kesulitan mengirimkan produksi log kayunya untuk memasok kebutuhan industri pengolahan kayu.

Menurut data kementerian kehutanan, ekses negatif operasi pemberantasan pembalakan liar dan kondisi yang tidak menguntungkan membuat penggunaan kayu dari hutan alam yang pada 2005 masih mencapai 20,5 juta meter kubik tinggal 6,12 juta meter kubik pada tahun 2010.

Terpuruknya kinerja industri kayu lapis dan produksi panel kayu lainnya di luar Jawa karena seretnya pasokan bahan baku dari HPH membuat sektor kehutanan kemudian dianggap sebagai "sunset industry". Apalagi, perbankan juga tidak lagi tertarik untuk mengucurkan kredit ke sektor ini.

Namun seiring dengan makin suramnya masa depan industri panel kayu di luar Jawa, secara perlahan industri kayu lapis dalam skala kecil di Jawa justru menggeliat.

Geliat ini tidak lain berkat keberadaan tanaman sengon dari hutan yang dikelola masyarakat.

Berdasarkan perkiraan, Menurut Dirjen Bina Usaha Kehutanan, Iman Santoso, potensi hutan tanaman di lahan milik masyarakat kini sudah mencapai luas 3,5 juta hektare. "Sementara potensi tegakan diperkirakan mencapai 125,6 juta meter kubik dan potensi tanaman siap panen bisa mencapai 20,9 juta meter kubik per tahun," katanya.

Menurut dia, kementerian kehutanan memang mendorong agar industri semakin banyak memanfaatkan kayu tanaman. Salah satu upayanya adalah dengan penerapan kebijakan "outsourcing" bagi industri pengolahan kayu, khususnya untuk kayu dari hutan yang dikelola rakyat.

Kebijakan lain yang juga sudah diterapkan adalah kemudahan dalam pemanfaatan kayu rakyat, di mana pengangkutannya cukup menggunakan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU). Kebijakan ini diatur dalam peraturan menteri kehutanan (Permenhut) No.P.51/MenhutII/2006 jo. P.33/Menhut-II/2007.

Berbagai kebijakan itu, kata Iman, membuat ekonomi masyarakat pedesaan bergerak. Selain itu, tutupan hutan juga bisa ditingkatkan dari perluasan hutan yang dikelola rakyat.

"Ini adalah `good cost` karena tanpa biaya pemerintah (APBN), penggunaan kayu dari hutan milik rakyat oleh industri bisa menggerakkan pembangunan hutan rakyat dan memperluas tutupan hutan," katanya.


Kemitraan

Di samping mendorong pemanfaatan kayu rakyat, kementerian kehutanan juga memacu industri untuk menjalin kemitraan dengan pemilik hutan rakyat. Selain untuk menjamin kesinambungan bahan baku, industri melalui kemitraan ini diharapkan ikut bertanggung jawab dalam pemberdayaan masyarakat yang menjadi mitranya.

Tahun ini, kata Iman, pemerintah membangun dan mendorong terbangunnya hutan rakyat kemitraan seluas 50.000 hektare.

Sampai tahun 2010, menurut dia, ada sedikitnya 56 industri pengolahan kayu yang melakukan kerja sama kemitraan dengan masyarakat. Nilai investasi industri ini totalnya mencapai Rp2,31 triliun dan mampu menyerap tenaga kerja langsung mencapai 21.300 orang.

Mereka juga diperkirakan telah membagikan bibit sedikitnya 109 juta bibit. Selain membagikan bibit, kalangan industri pengolahan kayu juga melakukan pendampingan untuk pengelolaan hutan rakyat milik masyarakat.

Yang pasti, meningkatnya kebutuhan kayu dari hutan yang dikelola rakyat ini telah membuat harga kayu sengon terus naik dan kini mencapai Rp 600.000-Rp 800.000 per meter kubik.

Menurut Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, pemanfaatan kayu tanaman akan terus didorong dan nantinya diharapkan 80 persen pasokan kayu untuk industri berasal dari hutan tanaman milik rakyat maupun swasta.

Meski demikian, katanya, pemanfaatan kayu hutan alam sekitar 20 persen untuk industri kayu lapis memang tidak bisa ditinggalkan sepenuhnya karena memiliki corak yang khas yang dimanfaatkan untuk lapisan "face-back" produk kayu lapis. "Untuk lapisan intinya cukup pakai kayu tanaman, seperti sengon, jabon, atau gmelina," tegas Menhut.


Naik

Sampai triwulan ketiga 2010, menurut catatan kementerian kehutanan, industri pengolahan kayu telah memanfaatkan 2,086 juta meter kubik kayu yang berasal dari hutan rakyat. Penggunaan kayu dari hutan milik milik rakyat itu naik dibandingkan catatan periode yang sama tahun sebelumnya yang baru mencapai 1,9 juta meter kubik.

Menteri menuturkan, pemerintah memang mendorong pengembangan industri kehutanan berbasis rakyat. "Hal itu menjadi bagian dari implementasi delapan kebijakan prioritas yang di antaranya adalah revitalisasi pemanfaatan hutan dan industri kehutanan serta pemberdayaan masyarakat," katanya.

Zulkifli juga menegaskan, penggunaan kayu dari hutan yang dikelola rakyat ini selaras dengan "triple track strategy" yang dijalankan pemerintah untuk mendukung pertumbuhan (pro growth), memperluas lapangan pekerjaan (pro job), dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (pro poor).

Direktur utama PT Sumber Graha Sejahtera (SGS), Aris Sunarko, mengatakan, kayu sengon dari hutan yang dikelola rakyat tidak hanya bisa dijadikan lapisan inti produk kayu lapis.

Menurut dia, kekuatan produksi kayu lapis jenis laminated veneer lumber (LVL) yang menggunkan bahan baku kayu dari hutan rakyat, seperti sengon, bisa mencapai kelas kuat I. "Itu berarti kekuatan kayu jenis ini tak kalah dengan kayu solid keras, seperti merbau atau bangkirai, yang biasa digunakan sebagai bahan konstruksi," katanya.

Selain memanfaatkan kayu dari konsesi HPH yang dimilikinya, perusahaan di Tangerang ini juga banyak memanfaatkan kayu dari hutan yang dikelola masyarakat. Mereka bahkan menjadi salah satu pionir dalam kerja sama dan kemitraan swasta dengan masyarakat di Jawa.

Persoalannya, luas total hutan rakyat di seluruh Indonesia mencapai 3.589.343 hektare. Menurut data Ditjen Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial (BP DAS dan PS) Kementerian kehutanan, luas hutan rakyat tersebut bila dibandingkan dengan total luas hutan di seluruh Indonesia yang kini tercatat seluas 137,09 juta hektare ternyata tidak lebih dari 2,62 persen.

Meski demikian, prosentase luas hutan rakyat masih mungkin terus bertambah bila melihat data luas lahan kritis di luar kawasan hutan di Indonesia yang saat ini tercatat sekitar 10.690.312 hektare. Apalagi, kementerian kehutanan kini terus memberikan akses seluas-luasnya kepada rakyat untuk ikut mengelola hutan nasional dalam bentuk hutan tanaman rakyat, hutan kemasyarakatan, hutan desa, dan hutan rakyat.

Masalah lainnya adalah persebaran hutan rakyat yang masih terkonsentrasi di Jawa. Dari total luas hutan yang dikelola masyarakat, ternyata 2.799.181 hektare atau 77, 98 persen di antaranya terdapat di Pulau Jawa.

Sementara areal hutan rakyat di Sumatera menempati urutan kedua terluas yang mencapai 220.404 hektare atau 6,14 persen dari keseluruhan luas hutan rakyat. Luasan hutan rakyat di Sulawesi mencapai 208.511 hektare atau 5,81 persen.

Sementara wilayah yang memiliki luasan hutan rakyat paling rendah adalah Papua dan Papua Barat yang hanya mencapai 14.165 hektare atau 0,39 persen.

Dengan potensi yang masih akan terus berkembang, hutan yang dikelola masyarakat ini sangat bisa menjadi garda terdepan dalam pemenuhan bahan baku kayu untuk industri panel dan kayu pertukangan.

Kondisi ini tidak saja menjadi pendapatan alternatif bagi masyarakat, tetapi juga akan kembali menciptakan pusat pertumbuhan di daerah yang bersandar pada sektor kehutanan. Masalahnya adalah bagaimana menjadikan kemitraan ini sebagai pola baku untuk dikembangkan di luar Jawa.

Akan juga menjadi lebih menjanjikan lagi jika pola kemitraan ini kemudian tidak hanya menyangkut penyediaan bahan baku kayu saja, tetapi di masa mendatang justru kelompok masyarakat yang membangun, mengelola, dan memiliki industri setengah jadi (venner) untuk memasok kebutuhan pabrik kayu lapis. (*)

Oleh Arief Pujianto
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011