Semarang (ANTARA News) - Kriminolog Universitas Indonesia Adrianus Meliala menilai, kekerasan di kalangan pelajar terjadi karena "tradisi" yang dibentuk secara turun temurun oleh kakak-kakak kelasnya.
"Kekerasan di kalangan pelajar ini seperti sudah menjadi fase yang harus dilewati," katanya di Semarang, Selasa, menanggapi aksi kekerasan di kalangan pelajar yang akhir-akhir ini kian sering terjadi.
Hal itu diungkapkan Adrianus yang juga Guru Besar Kriminologi FISIP UI itu usai seminar "Konstruksi dan Implikasi Model Private Security Dalam Penyelenggaraan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat" di Universitas Diponegoro Semarang.
Kebanyakan remaja yang suka melakukan tawuran, kata dia, adalah mereka yang duduk di kelas I dan II, terutama jenjang sekolah menengah atas (SMA), sedangkan pelajar yang kelas III cenderung serius belajar.
"Sepertinya rotasi fasenya semacam itu, mereka yang duduk di kelas I dan II nakal, namun setelah kelas III baik karena konsentrasi menghadapi ujian nasional (UN). Sepertinya tidak ada mereka yang betul-betul nakal," katanya.
Menurut dia, aksi kekerasan di kalangan pelajar itu terus akan terjadi jika mata rantainya tidak diputus, karena itu perlu peran alumni untuk memutus tradisi kekerasan yang membuat pelajar bertindak beringas.
"Peran alumni sangat penting menghentikan tradisi kekerasan, baik kekerasan senior terhadap yunior maupun tawuran. Mungkin ada sekolah-sekolah yang bermusuhan sejak lama, peran alumni menyelesaikannya," katanya.
Kondisinya bisa berbeda pada kekerasan di kalangan mahasiswa, kata dia, sebab kondisi pembelajaran di perguruan tinggi yang kian membuat tertekan dan biaya kuliah tinggi bisa memancing mahasiswa berbuat kekerasan.
Ia menjelaskan, kondisi sulit dalam perkuliahan semacam itu membuat solidaritas antarmahasiswa, baik satu fakultas, satu kampus kian tinggi, merasa senasib, dan susah jika harus "berdiri sendiri".
Persoalannya, kata dia, solidaritas antarmahasiswa satu fakultas dan kampus itu membuat kelompok-kelompok, ada yang dianggap "in-group", yakni satu kelompoknya dan mereka di luar kelompoknya "out-group".
"Akhirnya mereka mudah menyerang mahasiswa yang berada di luar kelompoknya, dan sebaliknya. Memang tidak semua mahasiswa perguruan tinggi seperti itu, tergantung ketatnya peraturan yang diterapkan kampus," kata Adrianus.
(U.KR-ZLS/M029)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011