Riyadh (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri AS, Condoleezza Rice menghadapi penolakan baru Arab untuk mengucilkan Hamas setiba, Rabu, di Arab Saudi pada tahap kedua kunjungannya di Timur Tengah dengan tujuan menekan gerakan Palestina itu untuk mencela kekerasan. Timpalannya dari Arab Saudi, Pangeran Saud Al-Faisal, memperingatkan Riyadh akan terus mendukung Pemerintah Otonomi Palestina secara finansial, bahkan setelah Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) menang dalam pemilihan umum di wilayah tersebut. "Kami tak ingin mengaitkan bantuan internasional untuk rakyat Palestina dengan pertimbangan selain kebutuhan kemanusiaan ... mereka," kata Pangeran Saud pada suatu taklimat bersama dengan Rice, yang mengulangi sikap Amerika bahwa AS menyadari kebutuhan rakyat Palestina. Washington telah meminta Pemerintah Otonomi Palestina mengembalikan 50 juta dolar AS dalam bentuk bantuan untuk proyek prasarana, karena khawatir dana itu akan jatuh ke tangan Hamas -- yang dianggap sebagai organisasi teroris oleh AS dan Eropa. Seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri AS mengatakan, "Kami belum mengambil semua keputusan. Sangat mungkin bahwa kami akan menyalurkan kembali uang itu untuk keperluan kemanusiaan dan bukan buat prasarana." Tetapi Pangeran Saud menampik itu, dan menyatakan bantuan kemanusiaan dan prasarana diperlukan. "Bagaimana kita membedakan antara bantuan kemanusiaan dan bukan kemanusiaan, proyek prasarana atau proyek bantuan kemanusiaan? Mereka memerlukan keduanya, bantuan prasarana dan kemanusiaan," katanya, seperti dilansir AFP. Sebelum tiba di Arab Saudi, Rice mengadakan pembicaraan di Kairo dengan Presiden Mesir Hosni Mubarak dengan pusat perhatian setelah kemenangan Hamas dalam pemilihan anggota parlemen Palestina bulan lalu. Selama taklimat bersama dengan Menteri Luar Negeri Mesir, Ahmed Abul Gheit, Selasa, Rice mengulangi pendirian keras pemerintahnya -- yang memasukkan Hamas dalam daftar organisasi teroris. "Anda tak dapat meletakkan satu kaki di kamp teror dan satu lagi di kamp politik," kata Rice. Ditambahkannya, masyarakat internasional berharap gerakan garis keras itu mengakui hak negara Yahudi untuk ada. Hamas, yang bertanggung jawab atas serangkaian serangan mematikan terhadap Israel, telah menggunakan bahasa yang lebih lunak sejak kemenangnya dalam pemilihan umum atas gerakan utama Fatah, tapi tak sampai mempertimbangkan normalisasi dengan negara Yahudi. Namun Mesir telah menyatakan Washington harus menghormati hasil pemilihan demokratis di Palestina dan tak boleh tergesa-gesa memboikot pemerintah pimpinan Hamas. "Kita mesti memberi waktu kepada Hamas," kata Abul Gheit. "Saya yakin Hamas akan berkembang, akan berubah. Kita tak boleh berprasangka mengenai masalah itu," kata Abul Gheit. AS tak mau belajar Hamas, yang diminta oleh pemimpin Palestina dan Ketua Fatah Mahmud Abbas untuk membentuk pemerintah mendatang, menampik komentar Rice dan menyatakan pembicaraan keras Washington hanya akan mengundang ledakan sebelum waktunya. "Amerika Serikat masih belum mau belajar bahwa bahasa ancaman tak berhasil dengan Hamas," kata jurubicara gerakan tersebut, Mohammed Nazzal. "Makin kuat tekanan Amerika atas Hamas, makin banyak dukungan rakyat Palestina untuk Hamas," katanya setelah pertemuan dengan wakil Suleiman, Mohsen An-Naamani. Nazzal menafsirkan pernyataan Rice sebagai tanda ketakutan. Rice juga mengadakan pertemuan singkat dengan anggota masyarakat sipil Mesir, yang menyampaikan pendapat mereka mengenai cara mendorong demokras dan pada saat yang sama menghadapi kebangkitan Islam. Rice, yang bertemu dengan pemimpin baru dinas rahasia Arab Saudi Pangeran Meqrin bin Abdulaziz, kelihatannya juga menghadapi kesulitan untuk meyakinkan para pemimpin Arab Saudi agar mengucilkan Iran, yang dituduh oleh Amerika Serikat sedang berusaha memperoleh senjata nuklir. "Mengenai ini, kami kira ... belum ada bukti bahwa mereka memproduksi senjata atom. Mereka membantah ini. Mereka telah membantahnya berkali-kali kepada kami. Mereka mengatakan mereka memerlukan teknologi itu untuk tujuannya sendiri," kata Pangeran Saud. Rice dijadwalkan mengakhiri kunjungan lima harinya dengan mengunjungi Uni Emirat Arab, dan bertemu dengan menteri luar Dewan Kerjasama Teluk (GCC). (*)

Copyright © ANTARA 2006