Amman (ANTARA News) - Pemimpin negara Islam dan Barat, Rabu, mendesak rakyat Irak agar menahan diri dari perang saudara, setelah pemboman satu tempat suci kaum Syiah menyulut pembalasan maut terhadap pengikut Sunni. Amerika Serikat mencela ledakan itu dan menyeru rakyat Irak agar tenang, sementara kerumunan orang menyerang 27 tempat ibadah di Baghdad, dan menewaskan enam orang, dalam kemarahan akibat rusaknya kubah emas mausoleum Imam Ali Al-Hadi, yang berusia 1.000 tahun. "Kami mendesak semua rakyat Irak untuk memperlihatkan ketenangan segera setelah tragedi dan menegakkan keadilan sejalan dengan peraturan dan undang-undang dasar Irak. Kekerasan hanya mewujudkan apa yang ingin dicapai oleh pelaku teror dengan tindakan ini," kata jurubicara Gedung Putih, Scott McClellan, seperti dikutip AFP. Politisi di seluruh dunia sangat terkejut ketika menyaksikan pemandangan kerumunan orang bergerak sambil membawa senapan mesin dan membakar tempat ibadah di Baghdad. Mereka menyeru rakyat Irak agar menahan diri. Menteri Luar Negeri Inggris, Jack Straw mengutuk pemboman Rabu tersebut sebagai upaya untuk menyulut bentrokan antar-aliran agama dan menyabot upaya guna membantuk pemerintah koalisi dengan dasar luas dua bulan setelah pemilihan umum. "Tindakan keji dan jahat ini dilakukan menyusul serangkaian serangan belum lama ini terhadap rakyat tak berdosa di Irak," kata Straw di London. Menteri Inggris itu baru saja kembali dari kunjungan di Irak, Selasa. Dalam kunjungan tersebut, ia berusaha membujuk masyarakat Irak yang terpecah --Syiah, Sunni dan suku Kurdi-- agar mengakhiri pertikaian mereka mengenai pembentukan pemerintah persatuan nasional. "Itu adalah upaya tercela yang terang-terangan oleh teroris untuk berusaha menyulut bentrokan di antara masyarakat dan mengganggu proses pembentukan pemerintah baru Irak," kata Straw. Perancis juga mencela pemboman terhadap tempat suci Syiah itu. "Perancis dengan tegas mengutuk serangan pagi ini terhadap mausoleum para imam di Samarra, Irak," kata jurubicara Kementerian Luar Negeri, Jean-Baptiste Mattei kepada wartawan. Di Jordania, Raja Abdullah II memperingatkan pengrusakan masjid ditujukan untuk menyulut dan menyebar perpecahan antar-golongan di kalangan rakyat Irak. "Apa yang terjadi ialah upaya untuk mengganggu usaha yang sedang dilakukan untuk mewujudkan persatuan nasional ... membangun kembali bangsa dan mencapai masa depan yang makmur bagi Irak," kata Raja Abdullah dalam pesannya kepada Presiden Irak Jalal Talabani.Iran berkabung sepekan Iran, yang berfaham Syiah, menyampaikan kemarahan sehubungan dengan pemboman tersebut dan mengumumkan satu pekan masa berkabung nasional. Pemimpin Spiritual Ayatollah Ali Khamenei menuding Washington berkaitan dengan pemboman itu, tapi menyeru masyarakat Syiah Irak, yang baru memperoleh kekuatan, untuk tidak melakukan serangan pembalasan terhadap kelompok Sunni. "Ini adalah kejahatan politik, yang harus dilacak sampai ke dinas intelijen Zionis dan kaum pendudukan Irak," kata Khamenei sebagaimana dikutip media Iran. Ia menyeru pengikut Syiah Irak untuk menghindari serangan terhadap tempat ibadah Sunni, sehingga mereka tidak membantu musuh Islam. Perdana Menteri Lebanon, Fuad Siniora, yang juga berfaham Sunni tapi memerintah negara yang memiliki banyak pemeluk Syiah, memperingatkan pemboman tersebut ditujukan untuk memecah umat Muslim, antara Sunni dan Syiah, dengan tujuan merusak persatuan Irak dan persatuan di kalangan umat Muslim. Ulama kenamaan Syiah Lebanon, Sayed Mohammad Hussein Fadlallah menuduh Amerika Serikat dengan sengaja menyulut ketegangan masyarakat di Irak dalam upaya mempertahankan pendudukannya. "Kaum pendudukan Amerika berusaha mempertahankan cengkeramannya di Irak dengan memperoleh keuntungan dari kejahatan ini, yang diaturnya baik secara langsung maupun tidak," kata Fadlallah. Pemimpin garis keras Syiah Irak, Moqtada As-Sadr, yang telah berada di Beirut dalam suatu lawatan ketika berita pemboman tersiar, segera mempersingkat kunjungannya dan kembali ke Baghdad. As-Sadr memiliki puluhan ribu anggota milisi di daerah Syiah di bagian tengah dan selatan Irak. (*)
Copyright © ANTARA 2006