Pekanbaru (ANTARA News) - Organisasi lingkungan Greenpeace menyerukan agar Kementerian Kehutanan segera menerapkan moratorium atau jeda tebang hutan di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, setelah konflik perusahaan dan warga makin memanas di daerah itu.
"Hakikat moratorium hutan sebenarnya adalah memberikan waktu untuk meninjau kembali agar permasalahan kehutanan bisa diselesaikan sampai ke akar masalahnya," kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, Rusmadya Maharuddin, kepada ANTARA di Pekanbaru, Senin.
Rusmadya mengatakan itu terkait konflik PT Sumatera Riang Lestari (SRL) dan warga pulau Rupat Selatan yang berbuntut pada insiden pengrusakan fasilitas perusahaan beberapa waktu lalu. Menurut dia, konflik di Pulau Rupat tidak mungkin timbul sendiri tanpa sebab.
Karena itu, solusi bijak yang perlu diambil pemerintah pusat melalui Kementerian Kehutanan adalah menghentikan sementara penerbitan izin tebang rencana kerja tahunan (RKT) untuk PT SRL. Kemudian, dalam jangka waktu itu dilakukan peninjauan kembali terhadap proses perizinan karena diduga bermasalah.
"Apabila pemerintah terus memaksakan menerbitkan RKT, sedangkan akar permasalahan tidak diselesaikan, maka hal itu akan menimbulkan konflik yang tidak selesai dan kerugian di dua pihak baik perusahaan dan masyarakat," ujarnya.
Menurut dia, hakikat jeda tebang bukan untuk mematikan bisnis, melainkan memberi kepastian investasi agar tidak menimbulkan konflik dengan warga setempat.
Menurut dia, begitu banyak konflik perusahaan kelapa sawit dan industri kehutanan yang seharusnya bisa diselesaikan melalui penerapan moratorium hutan.
"Penghentian sementara penerbitan izin tebang, aktivitas perusahaan adalah untuk peninjauan kembali untuk menyelesaikan konflik lahan, masalah tata batas, dan tumpang tindih lahan untuk tata kelola kehutanan yang lebih baik," katanya.
Warga Pulau Rupat bagian Selatan mengklaim bahwa PT SRL telah mencaplok lahan milik warga. Hal itu berbuntut unjuk rasa yang berakhir dengan aksi pengrusakan aset perusahaan pada Kamis (17/11) lalu.
Berdasarkan keterangan pihak perusahaan, massa yang berjumlah ratusan tidak terkendali dan melakukan pengrusakan terhadap enam unit alat berat jenis ekskavator milik kontraktor, delapan unit camp karyawan kontraktor dan dua unit camp besar PT SRL. Kemudian termasuk juga satu "fuelbase" BBM dan satu unit kapal tongkang, sembilan unit gergaji mesin milik perusahaan.
Sedangkan, satu unit alat berat dimasukkan ke kanal oleh massa, dan semua pakaian dan perlengkapan karyawan ludes terbakar.
Kerugian diperkirakan lebih dari Rp20 miliar, belum lagi dua orang karyawan PT SRL, yaitu Mampe Manalu dan Sutaryono menjadi korban pemukulan yang dilakukan oleh massa, serta satu orang operator gergaji mesin yang kakinya dipatahkan oleh massa.
(T.F012/B013)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011