Kolombo (ANTARA News) - Sebuah komisi pemerintah Sri Lanka yang menyelidiki perang terhadap pemberontak Tamil meminta penyelidikan lebih lanjut atas tuduhan kejahatan perang yang dilakukan pada tahap-tahap akhir perang pada 2009, kata laporan-laporan, Minggu.
Komisi Pengkajian dan Rekonsiliasi (LLRC), yang dikecam oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia internasional karena berat sebelah, menyimpulkan bahwa sejumlah bukti memerlukan penyelidikan baru, kata surat kabar Sunday Times, lapor AFP.
Komisi itu menyerahkan laporan kepada Presiden Mahinda Rajapakse pada Minggu, kata juru bicara Bandula Jayasekara, namun tidak jelas kapan laporan itu akan dipublikasikan.
"Presiden menerima laporan itu dan menegaskan bahwa ia akan memeriksanya dan mengajukannya ke parlemen sehingga laporan itu bisa menjadi dokumen umum setelah itu," kata Jayasekara tanpa menjelaskan isi laporan itu.
Namun, media setempat mengatakan, laporan LLRC itu menyimpulkan bahwa sejumlah bukti yang dikumpulkan memerlukan penyelidikan baru.
Surat kabar Ceylon Today mengatakan bahwa LLRC, yang dipimpin seorang pensiunan jaksa agung, merekomendasikan agar sejumlah prajurit diperiksa karena peranan mereka dalam tahap-tahap akhir perang.
LLRC, yang beranggotakan para mantan pejabat pemerintah, dibentuk Mei tahun lalu dengan batas waktu penyelesaian pekerjaan pada 15 November. Komisi itu tidak diberi mandat untuk menyelidiki kejahatan perang namun mencari tahu mengapa gencatan senjata 2002 sponsoran Norwegia gagal dan merekomendasikan cara-cara mencegah negara pulau itu tergelincir lagi ke dalam konflik etnik.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia internasional mengecam keras LLRC dengan menyebutnya "cacat sejak awal" dan tidak bisa menggantikan penyelidikan kejahatan perang independen seperti yang dituntut banyak pihak, termasuk AS dan Uni Eropa.
Pasukan Sri Lanka meluncurkan ofensif besar-besaran untuk menumpas kelompok pemberontak Macan Pembebasan Tamil Eelam (LTTE) pada 2009 yang mengakhiri perang etnik hampir empat dasawarsa di negara tersebut.
Namun, kemenangan pasukan Sri Lanka atas LTTE menyulut tuduhan-tuduhan luas mengenai pelanggaran hak asasi manusia.
Pada September, Amnesti Internasional yang berkantor di London mengutip keterangan saksi mata dan pekerja bantuan yang mengatakan, sedikitnya 10.000 orang sipil tewas dalam tahap final ofensif militer terhadap gerilyawan Macan Tamil pada Mei 2009.
Pada April, laporan panel yang dibentuk Sekretaris Jendral Jendral PBB Ban Ki-moon mencatat tuduhan-tuduhan kejahatan perang yang dilakukan kedua pihak.
Sri Lanka mengecam laporan komisi PBB itu sebagai "tidak masuk akal" dan mengatakan, laporan itu berat sebelah dan bergantung pada bukti subyektif dari sumber tanpa nama.
Sri Lanka menolak seruan internasional bagi penyelidikan kejahatan perang dan menekankan bahwa tidak ada warga sipil yang menjadi sasaran pasukan pemerintah. Namun, kelompok-kelompok HAM menyatakan, lebih dari 40.000 warga sipil mungkin tewas akibat aksi kedua pihak yang berperang.
Pemerintah Sri Lanka pada 18 Mei 2009 mengumumkan berakhirnya konflik puluhan tahun dengan Macan Tamil setelah pasukan menumpas sisa-sisa kekuatan pemberontak tersebut dan membunuh pemimpin mereka, Velupillai Prabhakaran.
Pernyataan Kolombo itu menandai berakhirnya salah satu konflik etnik paling lama dan brutal di Asia yang menewaskan puluhan ribu orang dalam berbagai pertempuran, serangan bunuh diri, pemboman dan pembunuhan.
Macan Pembebasan Tamil Eelam (LTTE) juga telah mengakui bahwa Velupillai Prabhakaran tewas dalam serangan pasukan pemerintah Sri Lanka.
Pertempuran antara pasukan pemerintah dan pemberontak LTTE meningkat sejak pemerintah secara resmi menarik diri dari gencatan senjata enam tahun pada Januari 2008.
Pembuktian independen mengenai klaim-klaim jumlah korban mustahil dilakukan karena pemerintah Kolombo melarang wartawan pergi ke zona-zona pertempuran.
PBB memperkirakan, lebih dari 100.000 orang tewas dalam konflik separatis Tamil setelah pemberontak Macan Tamil muncul pada 1972.
Sekitar 15.000 pemberontak Tamil memerangi pemerintah Sri Lanka dalam konflik etnik itu dalam upaya mendirikan sebuah negara Tamil merdeka.
Masyarakat Tamil mencapai sekitar 18 persen dari penduduk Sri Lanka yang berjumlah 19,2 juta orang dan mereka terpusat di provinsi-provinsi utara dan timur yang dikuasai pemberontak. Mayoritas penduduk Sri Lanka adalah warga Sinhala. (M014)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011