Jakarta (ANTARA News) - Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas) menyatakan kesiapannya mendukung rencana pemerintah mengalihkan pengelolaan blok minyak dan gas bumi asing yang hampir habis masa kontraknya kepada perusahaan nasional.
"Bukan cuma siap, tapi lebih dari siap. Sudah seharusnya pemerintah memberikan kesempatan yang lebih luas kepada perusahaan migas nasional, termasuk barang dan jasa nasional, dalam mengelola ladang-ladang minyak dan gas bumi di Indonesia," kata Ketua Umum Aspermigas, Effendi Siradjuddin di Jakarta, Minggu.
Menurut Effendi, kebijakan pemerintah tersebut sejalan dengan kecenderungan global. Sejak 40 tahun silam, semua negara penghasil migas praktis telah berhasil memiliki dan mengoperasikan hampir 90 persen ladang migas di negara mereka, yang notabene merepresentasikan 90 persen cadangan dan produksi dunia.
"Terobosan pemerintah ini patut didukung, utamanya karena Indonesia saat ini terancam oleh ketidaktersediaan minyak impor yang merupakan pemasok 2/3 kebutuhan nasional," kata Effendi.
Terlebih lagi, dalam 10 tahun terakhir ini , produksi minyak Indonesia merosot hingga 50 persen.
"Aspermigas menaruh harapan besar kepada "Duo W" Wacik (Menteri ESDM, red) dan Widjajono (Wakil Menteri ESDM,red), yang berani melakukan terobosan besar untuk mengantisipasi situasi sulit ini," imbuh Effendi.
Terkait kesiapan pemain nasional, Effendi Siradjuddin menunjuk fakta bahwa semua lapangan eks-operator asing, baik lapangan produksi maupun lapangan tidur, telah berhasil dinaikkan produksinya oleh perusahaan nasional seperti dilakukan Pertamina, Medco, Energi Mega Persada, dan lebih dari 30 swasta nasional lainnya.
Tidak hanya di dalam negeri, lebih dari separuh perusahaan migas nasional saat ini pun sudah beroperasi di luar negeri. Sejarah juga mencatat, banyak tenaga ahli Indonesia yang belajar dari perusahaan Amerika dan Eropa sejak awal 1960-an.
Ikut menjadi bagian dari perusahaan asing yang berhasil mendongkrak produksi minyak Indonesia hingga lima kali lipat dan mencapai puncaknya sebesar 1,7 juta barel per hari pada awal 1990-an.
"Keberhasilan itu didorong oleh iklim investasi yang kondusif, tidak seperti iklim investasi kita dalam 10 tahun terakhir," kata Effendi.
Pemerintah prioritaskan
Baru-baru ini, Wakil Menteri ESDM Prof Widjajono Partowidagdo menyampaikan rencana pemerintah yang hendak memberikan prioritas kepada pelaku migas nasional -terutama Pertamina-untuk mengoperasikan blok-blok migas yang kontraknya segera berakhir. Namun, pemberian hak pengelolaan itu akan dilakukan secara hati-hati, dan dipastikan bukan perusahaan nasional yang "ditunggangi" pihak asing.
Widjajono mengungkapkan, terdapat 26 blok migas yang kontraknya akan berakhir sampai dengan 2020. Di antaranya, Blok Siak di Riau yang dioperasikan Chevron Pasifik akan berakhir pada 2013, Blok Koridor (Conoco Philips) berakhir 2016, Blok B South Natuna Sea berakhir 2018, dan Blok Mahakam (Total E&P) akan berakhir Maret 2017.
Dihubungi terpisah ,penasihat Aspermigas, John Karamoy mengatakan pemerintah bisa memberikan prioritas pengalihan pengelolaan blok produksi migas besar, terutama kepada Pertamina yang saat ini mengelola ratusan lapangan.
Kesempatan yang sama juga bisa diberikan kepada Group Medco dan Group Bakrie, karena pertimbangan pengalaman dan kesiapan keuangan.
"Namun, bila dikaitkan dengan rencana meningkatkan lifting, pemberian prioritas pengelolaan tersebut belum cukup menjawab kebutuhan," kata John.
Menurut dia, untuk meningkatkan lifting, maka Indonesia tetap memerlukan keberlanjutan keberadaan dan kesuksesan perusahaan-perusahaan migas nasional kecil menengah, sesuai dengan pengalaman dan kemampuan mereka dalam menggarap blok-blok yang sepadan.
John mencontohkan, di banyak negara, termasuk Amerika Serikat, sepertiga produksi minyaknya dikerjakan sendiri oleh perusahaan kecil menengah mereka. Pertimbangannya, lapangan kecil menengah lebih efesien bila dikelola oleh perusahaan yang sepadan.
Merujuk UU Migas Nomor 22/2001, lanjut John, terdapat kebijakan yang bersifat "win-win "bagi semua pelaku migas nasional, dalam hal ini BUMN, BUMD, swasta, dan koperasi.
"?Untuk itu, kebijakan yang ada harus kondusif agar perusahaan nasional besar, kecil, dan menengah dapat tumbuh bersama-sama. Diberi kesempatan dan diperlakukan adil, agar tidak saling mematikan akibat kebijakan yang keliru," tegas John.
(T.F004/A011)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011