Jika kita ingin bersedih, adalah karena kita meninggalkan suasananya, bukan maknanya
Jakarta (ANTARA) - "Ramadhan…… Ramadhan…… Ramadhan di hati. Ramadhan..... Ramadhan..... Ku mohon usah pergi". Begitu lantunan lirik lagu yang disenandungkan oleh Maher Zain, penyanyi berdarah Lebanon dalam lagunya yang bertajuk “Ramadhan”.
Tidak terasa Ramadan tahun ini tinggal menyisakan beberapa jam lagi. Bulan mulia yang disucikan sekaligus disukacitakan oleh seluruh umat Islam sedunia akan segera berlalu. Bulan yang hitungan harinya digambarkan sebagai Ayyamam ma’dudat atau “Beberapa hari yang tertentu” sebagaimana termaktub dalam Surah Al Baqarah ayat 184. Allah SWT tidak menyebutkan 29 atau 30 hari puasa di bulan Ramadhan, tetapi beberapa hari yang tertentu.
Dalam ayat ini jelas sekali bahwa Allah SWT sedang menunjukkan kasih sayang-Nya. Kalimat ini menyiratkan bahwa kewajiban puasa itu tidak berat, hanya beberapa hari yang tertentu saja dan itu mudah ditunaikan oleh orang-orang yang beriman dan bersungguh-sungguh atau memiliki passion.
Kata Ramadhan secara etimologis berarti panas yang terik atau bulan yang membakar panasnya. Secara substantif mengandung pengertian bahwa umat Islam yang menyambut bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan kesungguhan maka dosa-dosanya habis terbakar dan hilang.
Allah SWT memberikan kita waktu yang leluasa selama satu bulan penuh untuk memperkuat keimanan dan ketakwaan kita dan memohon ampunan kepada-Nya.
Di penghujung bulan suci ini, umat Islam yang takwa pasti teraduk-aduk perasaannya. Rasa bahagia dan sedih berbaur menjadi satu. Rasa bahagia ada di dalam dada karena hari kemenangan sudah di depan mata. Rasa sedih bersemayam di dalam hati karena bulan yang mulia ini akan segera pergi. Bulan yang penuh rahmat dan ampunan Allah SWT.
Tapi, benarkah Ramadhan akan pergi meninggalkan kita? Benarkah Ramadhan tidak lagi bersama kita? Benarkah Ramadhan tidak lagi berada di tengah-tengah kita? Atau sebaliknya. Kita yang pergi meninggalkannya. Kita yang berpamitan untuk berpisah dengannya.
Namun yang pasti, bilangan hari dalam bulan Ramadan akan segera berakhir. Bilangan hari berikutnya akan memasuki bulan Syawal. Yang kita tinggalkan sejatinya adalah hanya bilangan harinya, bukan maknanya.
Baca juga: Al Quran, bacaan terbaik saat Ramadhan
Jika kita ingin bersedih, adalah karena kita meninggalkan suasananya, bukan maknanya. Jika kita ingin tangisi, adalah karena malam yang lebih baik dari seribu bulan hanya ada di bulan Ramadhan, dan kita harus menunggu di tahun berikutnya.
Jika kita ingin bahagia, adalah karena Insya Allah kita sudah mendapatkan bekal dan latihan yang cukup untuk beribadah di bulan-bulan selanjutnya. Jika kita ingin gembira, adalah karena Insya Allah kita sudah mendapatkan ampunan dan ridho dari Allah SWT.
Ramadhan akan tetap berada di tengah-tengah kita, selama kita tidak meninggalkan ibadah-ibadah yang kita kerjakan di bulan yang mulia ini. Kita tetap berpuasa, walaupun digantikan dengan puasa-puasa sunnah di bulan-bulan lainnya.
Kita tetap rajin bersedekah, karena masih banyak saudara-saudara kita yang membutuhkan uluran tangan kita. Kita tetap shalat malam, karena Allah SWT tetap menanti doa dan tangisan hamba-hamba-Nya. Kita tetap itikaf, karena kita ingin bermuhasabah dan ingin terus berjumpa, berbicara dan mengeluh kepada Sang Maha Pencipta.
Kita tetap membaca dan memahami Al Quran, bukan hanya karena Al Quran sebagai sumber utama pedoman hidup kita, tetapi juga karena kitab suci ini yang akan menjadi penolong kita di akhirat kelak. Kita tetap mengerjakan ibadah-ibadah kita di bulan Ramadhan, agar kita tidak pergi meninggalkannya.
Baca juga: Asagri gagas gerakan #1JutaOrangBaik, ajak bersedekah saat Ramadhan
Setelah bulan Ramadhan berlalu akan hadir bulan yang bernama Syawal. Secara etimologis, kata Syawal berarti naik, meninggi atau peningkatan.
Secara substantif ada dua arti kata Syawal ini. Pertama, derajat umat Islam pada bulan Syawal setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan kesungguhan akan naik atau meninggi di hadapan Allah SWT karena telah mencapai derajat takwa serta mendapat ampunan dari Allah SWT.
Kedua, umat Islam yang telah memperoleh derajat takwa dengan penempaan selama satu bulan di Ramadan harus mempertahankan raihan ini dengan meningkatkan ibadah-ibadahnya secara berkelanjutan hingga hadirnya kembali Ramadhan di tahun depan.
Di bulan Syawal umat Islam diberi kesempatan lagi untuk mempertahankan dan meningkatkan ibadahnya dengan berpuasa enam hari secara berturut-turut atau tidak berturut-turut sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal maka baginya (pahala) puasa selama setahun penuh.” (HR Muslim).
Akhirnya, yang kita ucapkan bukan lagi selamat tinggal Ramadhan atau selamat jalan Ramadhan, tetapi ucapan semangat bersama Ramadhan. Semangat beribadah di bulan-bulan lainnya sebagaimana semangat beribadah di bulan Ramadhan.
Semoga setelah Ramadhan berlalu, kualitas keimanan, kualitas ibadah, kualitas karakter dan perilaku, serta kualitas karya kita dapat dipertahankan bahkan terus ditingkatkan secara berkelanjutan. Semoga Allah SWT selalu memberikan perlindungan dan melimpahkan petunjuk dan bimbingan-Nya kepada kita semua.
Selamat meraih malam yang lebih baik dari seribu bulan. Selamat menjemput hari kemenangan. Taqabbalallahu minna wa minkum. Wa taqabbal Ya Karim. Mohon maaf lahir dan batin.
"Dan ku berjanji….. Akan ku teruskan….. Semangatmu itu….. Sepanjang hidupku….. Oh Ramadhan" (Maher Zain).
Baca juga: ACT Sulteng ajak umat beramal via Gerakan Sedekah Pangan Ramadhan
*) Dr. Ir. Naufal Mahfudz, MM adalah
Ketua Umum Forum Doktor Bisnis Indonesia (Fordobi) dan Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI Orwilsus Bogor
Copyright © ANTARA 2022