Brasilia (ANTARA News) - Presiden Dilma Rousseff, seorang bekas gerilyawan Marxis yang dipenjarakan dan disiksa pada masa kediktatoran militer Brazil, Jumat, mendukung pembentukan panel kebenaran untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia pada periode gelap itu.
"Pada pokoknya bahwa penduduk, terutama pemuda dan generasi masa depan tahu masa lalu kami, berapa banyak orang telah dipenjarakan, disiksa dan tewas," katanya, lapor AFP.
"Kebenaran mengenai masa lalu kami adalah penting sekali agar tindakan yang telah menodai sejarah kami tidak terjadi lagi," katanya menambahkan.
Presiden itu juga mengumumkan sebuah undang-undang yang mencabut untuk jangka waktu tak terbatas kerahasiaan bagi dokumen publik dan memerintahkan penerbitannya setelah maksimal 50 tahun, langkah bersejarah lainnya untuk menyelidiki kejahatan yang dilakukan pada masa diktator militer (1964-1985).
"Kerahasiaan tak akan penah lagi digunakan untuk menyembunyikan pelanggaran HAM," kata Rousseff yang mendapat tepukan tangan sorak-sorai pada satu upacara resmi.
Komisi kebenaran itu dimaksudkan untuk menyelidiki sejumlah masalah termasuk penculikan yang dimotivasi politik pada era Perang Dingin, pelanggaran hak asasi dan pembunuhan dalam rentang waktu yang lebih lama dari kediktatoran -- 1946-1988.
Komisi itu bagaimanapun tidak mencabut amnesti bagi orang-orang yang telah melakukan penindasan itu, yang berlaku sejak 1979, dan diperkuat tahun lalu oleh Mahkamah Agung.
Brazil telah mengakui 400 penculikan dan yang diduga kematian pada masa kediktatoran itu.
Negara-negara lainnya di Amerika Selatan selatan yang memiliki kediktatoran sayap kanan dan kekejaman serta pembunuhan politik pada 1960-an - 80-an -- Argentina, Paraguay, Uruguay dan Chile -- telah mengajukan beberapa pelakunya dari era itu ke pengadilan.
Brazil, bagaimanapun, belum (mengajukan mereka yang bertanggung jawab ke pengadilan).
Keluarga para korban kediktatoran Brazil telah mengeluh bahwa dua undang-undang belum sampai pada langkah-langkah yang diambil di negara lainnya di Amerika Latin.
"Di Argentina, telah ada ribuan pengadilan, di Uruguay undang-undang amnesti telah direvisi. Brazil jauh di belakang. Kami tidak memiliki harapan. Kami tidak yakin undang-undang itu akan menyoroti pelanggaran-pelanggaran," kata Vitoria Grabois, ketua kelompok Torture Never Again, yang ayah, suami dan saudara laki-lakinya menjadi korban rezim militer.
Tahun lalu, Pengadilan HAM Antar-Amerika mengecam Brazil karena pelanggaran hak asasi manusia pada masa lalu dan meremehkan undang-undang amnesti 1979 sebagai tanpa keabsahan hukum.
Pengadilan itu menganggap undang-undang amnesti yang sebelumnya melindungi militer dengan merintangi penuntutan terhadap pelanggaran hak asasi manusia bertentangan dengan Deklarasi HAM Antar-Amerika. (S008/C003)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011