Jakarta (ANTARA News) - Bentrokan antara warga, aparat kepolisian dan petugas keamanan PT Freeport Indonesia (FI) di Kabupaten Mimika, Papua, Selasa sore, yang berujung dengan peristiwa penutupan jalan menuju perusahaan itu oleh warga, dinilai Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) sebagai bukti adanya kesenjangan antara perusahaan dengan masyarakat sekitar. "Itu adalah bukti kalau ada kesenjangan atau masalah di Freeport karena ini adalah urusan antara penambang besar dan kecil," kata Koordinator JATAM Siti Maimunah kepada ANTARA, di Jakarta, Rabu. Menurut dia, kasus perselisihan antara penambang besar dan kecil bukan masalah baru di Indonesia. "Kasus serupa sudah banyak terjadi di Indonesia, sebut saja apa yang terjadi di Kalimantan Tengah atau beberapa tempat lain di Indonesia," katanya. Rakyat yang dahulu menambang secara tradisional, kata dia, kini justru dikejar-kejar aparat setelah penambang besar masuk. "Seakan-akan mereka hanya menjadi penonton dan sepertinya bukan pemilik padahal kekayaan itu adalah sumber daya alamnya sendiri," ujarnya. Lebih lanjut Siti juga mengatakan bahwa kenyataan kalau para penambang liar menambang emas dari limbah PT FI menunjukkan bahwa pertambangan skala besar itu sangat boros. "Di limbahnya saja yang sudah dibuang, para penambang tradisional masih bisa memperoleh emas," katanya. Siti juga menegaskan bahwa insiden tersebut memperjelas adanya masalah sosial dalam kontrak karya PT FI. "Saat pertambangan besar masuk maka menghilangkan kesempatan atau akses masayrakat sekitar terhadap pertambangan tradisional padahal sebagain dari mereka mungkin sudah terbiasa hidup sebagai penambang. Jadi ketika kondisi itu terjadi mereka bisa apa, jika tidak terus menambang secara liar," katanya. Kondisi tersebut, kata dia, terdengar ironis karena masyarakat kemudian dijuluki sebagai melakukan penambangan tanpa ijin. "Atau bisa juga mereka adalah orang-orang yang sumber penghidupannya hilang gara-gara akumulasi limbah dari pertambangan besar yang mengakibatkan berkurangnya kesuburan dan lain-lain," katanya. Masalah sosial yang terjadi di PT FI, kata Siti, terbilang cukup serius karena masyarakat sekitar sampai melakukan penambangan liar di lokasi yang berbahaya. "Menambang di limbah itu sangat berbahaya bisa mengakibatkan kematian, jadi kalau mereka sampai melakukan pasti ada problem sosial yang parah. Padahal Freeport itu sudah 32 tahun di sana," ujarnya. Menurut Siti, sebagai perusahaan pertambangan dengan kontrak karya pertama, PT FI tentu menjadi acuan bagi sejumlah kontrak karya berikutnya. "Jadi bagaimana jika di sana ada masalah," katanya. Pada kesempatan tersebut Siti juga mengimbau agar semua pihak yang terkait dapat menahan diri untuk menghindari jatuhnya korban dan insiden yang lebih parah. "Jangan sampai memicu konflik yang lebih dalam," katanya.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006