Kerja legislasi DPR tidak hanya sekadar kuantitas, tetapi soal kualitas.

Jakarta (ANTARA) - Direktur Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti mengatakan pernyataan Ketua DPR RI Puan Maharani yang meminta anggota DPR agar menjadikan tolok ukur program legislasi berdasarkan kualitasnya sebagai sebagai autokritik untuk kinerja legislasi.


"Tentu saja bagus prinsip itu. Itu yang diharapkan," kata Ray dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.

Menurut Ray, penyataan Puan ini sebagai autokritik atas institusi DPR. Jika sebagai autokritik, lanjut dia, Puan harus bisa memastikan pembuatan UU yang bermutu secara kualitas, prosedural, dan kuantitas.


"Itu yang harus menjadi fokus utama Puan ke depan. Apakah pernyataan itu semacam autokritik sebagai strategi Puan mengembangkan peran dewan pada masa akan datang dengan membenahi tiga persoalan dalam legislasi ini atau apa? Kita tunggu realisasinya," kata Ray.

Sebelumnya, RUU TPKS disetujui pengesahannya menjadi UU TPKS dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 14 April 2022. Undang-undang itu mendapat apresiasi positif dari banyak kalangan dan dinilai sebagai salah satu keberhasilan DPR dalam menggodok UU.

Menurut Ray, pernyataan Puan juga tidak bisa dialamatkan secara sempit pada UU TPKS semata.

"Kalau untuk itu saja, ya, menurut saya sangat sempit, seharusnya untuk keseluruhan produk undang-undang di DPR," kata dia.

Baca juga: Ketika para aktris ajak masyarakat kawal implementasi UU TPKS

Baca juga: UU TPKS wujud perjuangan Kartini masa kini

Sementara itu, peneliti Forum Masyarakat Perduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan bahwa Puan seharusnya punya sikap dan respons yang sama terhadap sejumlah rancangan undang-undang (RUU) yang sejak lama sudah ditunggu-tunggu publik, bukan hanya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

"UU TPKS tentu sangat penting. Akan tetapi, RUU yang dibutuhkan publik tidak hanya RUU TPKS. Masih ada RUU Perlindungan Data Pribadi, RUU Penanggulangan Bencana, dan lain-lain. Penghormatan terhadap rakyat jangan pilih-pilih, semua yang jelas dibutuhkan itu mesti bisa dikerjakan tepat waktu oleh DPR," ucapnya.

Jika yang dimaksud pengesahan RUU TPKS bisa menjawab aspirasi dan kebutuhan hukum publik terkait dengan penegakan kasus kekerasan seksual, menurut Lucius, hal itu akan sangat diapresiasi. Akan tetapi, bukan berarti proses RUU TPKS hingga disahkan menjadi UU tanpa kekurangan.

Menurut dia, peran publik sangat penting dalam pengesahan RUU TPKS. Jika publik tidak terus-menerus menekan DPR agar segera mengesahkan RUU TPKS, mungkin sampai sekarang UU TPKS tidak juga tuntas dibahas.

Lucius menambahkan bahwa Puan tak cukup berperan dalam UU TPKS. Puan terlihat baru mulai sangat peduli pada fase akhir.

"Tentu saja ia sebagai Ketua DPR punya kuasa yang besar untuk mendorong proses yang cepat kalau kemauan politik itu memang tulus. Akan tetapi, saya lihat respons Puan lebih terlihat sebagai langkah politik memanfaatkan RUU TPKS yang memang ditunggu-tunggu publik," ujarnya.

Sebelumnya, Ketua DPR RI Puan Maharani meminta kepada para anggota DPR agar tolok ukur program legislasi yang dirumuskan DPR tidak berdasarkan dari banyaknya undang-undang yang dihasilkan, tetapi dari kualitasnya. Hal itu terus digaungkannya sejak dilantik pada bulan Oktober 2019.

"Membuat undang-undang itu tidak bisa sembarang. Tidak bisa sekadar memasang target jumlah 100 atau 200 UU," kata Puan.

Yang jauh lebih penting, menurut Puan, UU dibahas dengan mekanisme yang benar serta memberikan manfaat yang besar untuk masyarakat.

"Kerja legislasi DPR tidak hanya sekadar kuantitas, tetapi soal kualitas," kata Puan.

Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022