Jakarta (ANTARA News) - Mantan Menteri Otonomi Daerah Prof Ryaas Rasyid menegaskan, setelah 11 tahun otonomi daerah dilaksanakan di Indonesia harus dilakukan evaluasi sejauh mana efektivitas penerapannya selama ini.
"Otonomi daerah (Otda) ini memang perlu dievaluasi karena janji saya dulu ke DPR bahwa setelah 10 tahun, perlu evaluasi kembali sejauh mana efektifitas dari penerapannya," ujarnya di Jakarta, Selasa.
Pada evaluasi itu, menurut dia, perlu dilihat dimana saja kekurangan implementasi otda dan mana yang masih perlu dikembangkan lagi agar otda mampu mempercepat pembangunan daerah atau memberi kesejahteraan pada rakyat.
Soal adanya tarik menarik kewenangan antara gubernur dan bupati, menurut Ryaas, hal itu merupakan pandangan yang keliru karena sepanjang menyangkut sisi normatif, sudah sangat jelas batas kewenangan gubernur dan bupati/wali kota itu.
"Memang ada penambahan kewenangan gubernur, tapi tidak mengurangi kewenangan bupati/wali kota karena itu sekadar memindahkan sebagian kewenangan dari Jakarta ke gubernur. Ini supaya gubernur menjadi wakil pemerintah pusat yang efektif," ujar Ryaas yang kini anggota Dewan Pertimbangan Presien (Wantimpres) itu.
Dalam konteks tersebut, menurut Ryaas, seorang gubernur sama sekali tidak bisa mengesampingkan kewenangan seorang bupati/wali kota karena kewenangan bupati yang ditetapkan secara legal dalam undang-undang tidak bisa diganggu atau diintervensi, bahkan oleh Mendagri atau Presiden.
Lebih lanjut Ryaas Rasyid menjelaskan bahwa hubungan yang ideal antara bupati dan gubernur dalam pemberdayaan sumber daya alam, baik gubernur maupun bupati harus saling menghormati kewenangan masing-masing.
"Dimana pun ditempatkan kewenangan itu harus dihormati. Gubernur harus menghormati kewenangan bupati dan sebaliknya juga demikian. Namun karena masalah pemerintahan itu merupakan proses pelayanan publik yang harus fair, maka jika ada gubernur memaksakan kewenangan kepada bupati, itu berarti sudah sebuah intervensi," ujarnya.
Dicontohkannya terkait penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) yang sifatnya lintas wilayah, maka tetap harus ada rekomendasi bupati. Jika gubernur mengesampingkan hal tersebut, berarti ia telah menyalahi prinsip administrasi yang baik.
"Karena berada dalam lingkungan kabupaten, maka tetap harus mendapat rekomendasi atau pertimbangan teknis dari bupati bersangkutan. Tidak boleh seolah-olah menganggap tidak ada bupati, meski kewenangan pemberian izin tetap pada gubernur," ujarnya.
Sementara jika ada gubernur yang tetap memaksakan kehendaknya sendiri, menurut Ryaas, itu harus segera diluruskan.
Ia mengingatkan bahwa selama itu menyangkut aktivitas fisik, maka gubernur tidak boleh melampaui bupati meski sifatnya pertimbangan dan semua itu ada prosesnya.
"Sama halnya dengan pemerintah pusat yang berwenang memberikan izin untuk kehutanan, tapi tidak bisa Menhut memberikan HPH tanpa adanya rekomendasi gubernur dan pertimbangan teknis dari bupati," ujarnya.
Karena pemerintah pusat juga menghargai kewenangan bupati, maka ketika ada sesuatu yang dikeluarkan tanpa mendapat pertimbangan teknis dari bupati setenmpat, hal itu tidak lengkap secara hukum.
"Logika administrasi saya menyatakan tidak bisa ada keputusan gubernur yang sifatnya fisik lapangan pada suatu wilayah tanpa ada rekomendasi dari bupati. Pertimbangan teknis dari bupati dan rekomendasi gubernur harus ada meski itu merupakan kewenangan menteri. Begitulah administrasi," demikian Ryaas Rasyid.
(T.D011/R007)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011