perempuan di masyarakat merupakan suatu modal sosialJakarta (ANTARA) - Deputi Bidang Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Prasinta Dewi mengatakan upaya mewujudkan tangguh bencana, harus melibatkan kaum perempuan.
Prasinta dalam webinar daring diikuti di Jakarta, Rabu, mengatakan ketangguhan perempuan dapat dibentuk dengan memberikan kesempatan kepada kaum perempuan untuk memperoleh kesetaraan akses, kapabilitas, sumber daya, dan ruang setara.
"Perempuan memiliki potensi untuk mengambil peran yang penting dalam penanggulangan bencana. Peran tersebut dapat dijalankan dalam setiap tahap manajemen penanggulangan bencana mulai dari prabencana, pada saat tanggap darurat, hingga pada masa pascabencana," ujar Prasinta.
Baca juga: Tiga Konjen Australia dorong perempuan mitigasi perubahan iklim
Baca juga: KPPPA bantu tangani pengungsi perempuan-anak di lokasi bencana
Prasinta mengatakan jika perempuan secara individu atau kelembagaan memiliki kapasitas tersebut, maka tingkat ketahanan atau resilien akan meningkat. Mereka akan mudah mengenali risiko di lingkungannya, mampu beradaptasi, membuat rencana kesiapsiagaan, mengambil keputusan yang tepat, dan mengerti cara menyelamatkan diri dan melakukan recovery dengan cepat pascabencana terjadi.
"Keberadaan kelompok perempuan di masyarakat merupakan suatu modal sosial, yang seharusnya mampu menjadi media untuk mentransformasikan pengetahuan keterampilan dan informasi kebencanaan di komunitas perempuan yang dapat berperan dalam upaya pengurangan risiko bencana, melalui berbagai upaya seperti Destana (Desa Tangguh Bencana) dan Katana (Keluarga Tangguh Bencana)," ujar dia.
Dia memaparkan berdasarkan kanjian Oxfam, setiap kejadian bencana alam, non alam, bahkan konflik sosial, 61-70 persen korban adalah perempuan dan anak, serta lanjut usia. Termasuk kelompok disabilitas, karena minimnya akses implementasi informasi dan keterlibatan perempuan dalam sosialisasi kebencanaan di tingkat Dusun atau Desa.
Hal itu juga menjadi salah satu penyebab tingginya angka korban akibat kejadian bencana.
Baca juga: Menteri PPPA dukung pelatihan mitigasi bencana perempuan dan anak
Prasinta mengatakan jika perempuan secara individu atau kelembagaan memiliki kapasitas tersebut, maka tingkat ketahanan atau resilien akan meningkat. Mereka akan mudah mengenali risiko di lingkungannya, mampu beradaptasi, membuat rencana kesiapsiagaan, mengambil keputusan yang tepat, dan mengerti cara menyelamatkan diri dan melakukan recovery dengan cepat pascabencana terjadi.
"Keberadaan kelompok perempuan di masyarakat merupakan suatu modal sosial, yang seharusnya mampu menjadi media untuk mentransformasikan pengetahuan keterampilan dan informasi kebencanaan di komunitas perempuan yang dapat berperan dalam upaya pengurangan risiko bencana, melalui berbagai upaya seperti Destana (Desa Tangguh Bencana) dan Katana (Keluarga Tangguh Bencana)," ujar dia.
Dia memaparkan berdasarkan kanjian Oxfam, setiap kejadian bencana alam, non alam, bahkan konflik sosial, 61-70 persen korban adalah perempuan dan anak, serta lanjut usia. Termasuk kelompok disabilitas, karena minimnya akses implementasi informasi dan keterlibatan perempuan dalam sosialisasi kebencanaan di tingkat Dusun atau Desa.
Hal itu juga menjadi salah satu penyebab tingginya angka korban akibat kejadian bencana.
Baca juga: Menteri PPPA dukung pelatihan mitigasi bencana perempuan dan anak
Baca juga: BNPB bangun kesiagaan perempuan hadapi bencana
Menurut dia, ketidakhadiran perempuan dalam pendidikan bencana, minimnya pengetahuan terkait pencegahan dan penanggulangan bencana, membawa konsekuensi perempuan lebih rentan menjadi korban.
Keluarnya Peraturan Kepala BNPB nomor 13 tahun 2014 tentang pengarusutamaan gender di bidang penanggulangan bencana yang menjadi perangkat penting mengintegrasikan pendekatan gender di bidang penanggulangan bencana.
Prasinta mengharapkan peningkatan partisipasi perempuan dan memperkuat kepemimpinan dalam setiap tahapan manajemen penanggulangan bencana di level komunitasnya masing-masing, sehingga tujuan dari melindungi menyelamatkan dan mengurangi risiko akibat kejadian bencana bisa terwujud.
Baca juga: Kemen PPPA dorong penanganan pandemi berperspektif gender
Menurut dia, ketidakhadiran perempuan dalam pendidikan bencana, minimnya pengetahuan terkait pencegahan dan penanggulangan bencana, membawa konsekuensi perempuan lebih rentan menjadi korban.
Keluarnya Peraturan Kepala BNPB nomor 13 tahun 2014 tentang pengarusutamaan gender di bidang penanggulangan bencana yang menjadi perangkat penting mengintegrasikan pendekatan gender di bidang penanggulangan bencana.
Prasinta mengharapkan peningkatan partisipasi perempuan dan memperkuat kepemimpinan dalam setiap tahapan manajemen penanggulangan bencana di level komunitasnya masing-masing, sehingga tujuan dari melindungi menyelamatkan dan mengurangi risiko akibat kejadian bencana bisa terwujud.
Baca juga: Kemen PPPA dorong penanganan pandemi berperspektif gender
Baca juga: Kemen PPPA dorong penanganan bencana responsif gender & berbasis anak
Baca juga: Perempuan rawan kekerasan saat terjadi bencana
Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022