Nusa Dua, Bali (ANTARA News) - Laut China Selatan terus mencekam. Para pihak di sekitar perairan tersebut saling gertak untuk mempertahankan hegemoni kawasan.

Laut China Selatan dikelilingi China di sebelah utara, Taiwan di timur laut, Filipina sebelah timur, dan barat laut dengan Vietnam. Di sebelah selatannya ada Brunei Darussalam dan Malaysia.

Kelima negara saling mengklaim kawasan tersebut, termasuk di dalamnya kepulauan Paracel dan Spratly.

China memakai alasan sejarah yang mengaku telah menorehkan klaim itu dalam satu peta yang dikeluarkan pada 1947. Taiwan menyampaikan alasan sama.

Vietnam membantah klaim dua negara itu. Goresan luka sejarah membawa Vietnam hingga ke ujung tebing perselisihan. Klaim China dan Taiwan itu dianggapnya tak beralasan karena Vietnam merasa telah menguasai dua kepulauan itu sejak abad ke-17. Vietnam bahkan memiliki dokumen-dokumen pendukung.

Filipina yang secara geografis lebih dekat ke kepulauan di Laut China Selatan itu, tidak tinggal diam.

Negeri ini merasa lebih berhak memasukkan kedua kepulauan ke wilayah kedaulatannya, bahkan menamai laut itu dengan "Laut Filipina Barat".

Brunei Darussalam dan Malaysia tidak ketinggalan. Mereka menganggap Laut China Selatan masuk kawasan Zona Ekonomi Ekslusif-nya.

Perselisihan itu mengganggu stabilitas Asia Tenggara, apalagi empat dari enam negara berselisih adalah anggota-anggota ASEAN.

ASEAN tak membiarkan luk semakin menganga. Melalui rangkaian negosiasi, ASEAN dan China menyepakati Deklarasi Perilaku (Declaration on the Conduct/ DOC) para pihak di Laut China Selatan pada 4 November 2002 di Kamboja.

Sepuluh menteri luar negeri ASEAN dan Wakil Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, menandatangani deklarasi itu.

Secara umum, deklarasi prilaku berisi kesepahaman tentang perlunya suasana damai, harmonis, dan persahabatan di kawasan Laut China Selatan demi stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.

Deklarasi perilaku diharapkan membuat suasana di kawasan Laut China Selatan menjadi lebih tenang.

Ternyata tidak. Gertakan-gertakan baru terlontar dari pihak-pihak yang bersengketa.

Mei 2011, kapal-kapal China berhadap-hadapan dengan sebuah kapal eksplorasi minyak Vietnam di kepulauan Paracels dan Spratly.

Sementara Presiden Filipina Benigno Aquino mencatat tujuh insiden masuknya kapal China ke wilayah yang disebut Manila perairannya.

Pada Juni 2011, Vietnam dilaporkan menggelar latihan perang angkatan laut dengan menggunakan peluru sungguhan di sekitar pulau Ong Hon yang jaraknya 250 km dari Kepulauan Paracels dan hampir 1.000 km dari Kepulauan Spratly.

Indonesia menjembatani

Melihat Laut China Selatan makin kisruh, Amerika Serikat datang melihat. Negara Adidaya ini merasa berkepentingan dengan stabilitas di kawasan demi menjamin keamanan pelayaran dan aktivitas penerbangan.

Bahkan di Vietnam pada Juli 2010, Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton mengatakan negaranya memiliki kepentingan vital dalam menjamin kebebasan navigasi di Laut China Selatan.

Sementara Senat AS menyetujui penghilangan pendekatan konflik pada setiap konflik di Laut China Selatan.

Sejak kesepakatan Deklarasi Perilaku (DOC) pada 2002, kawasan tenggara Asia menjadi tegang. Tidak ada yang dapat menjamin kekuatan militer tak dipakai untuk menegaskan siapa yang paling kuat di Laut China Selatan.

Akhirnya, Juli 2011, para pejabat senior ASEAN menyepakati panduan penerapan Deklarasi Perilaku yang diantaranya berisi penerapan DOC harus dilaksanakan secara bertahap sesuai ketentuan DOC.

Semua pihak bertikai akan melanjutkan dialog dan konsultasi, sedangkan sejumlah "proyek" dan "kegiatan" dalam DOC harus diidentifikasi secara jelas.

DOC sendiri menjabarkan pengertian "kegiatan" di Laut China Selatan dalam beberapa bentuk, yaitu perlindungan lingkungan bahari, riset kebaharian, keselamatan navigasi dan komunikasi di laut, operasi pencarian dan penyelamatan, serta upaya pemberantasan kejahatan trans-nasional.

Mereka juga memutuskan untuk menerapkan "kegiatan" nyata yang diatur dalam DOC harus didasarkan atas konsensus dan  mengarah pada realisasi Kode Etik Perilaku di Laut China Selatan yang lebih mengikat ketimbang DOC.

KTT ke-19 ASEAN di Nusa Dua, Bali yang akan berlangsung sampai 19 November nanti diharapkan menjadi tonggak misi perdamaian, termasuk di Laut China Selatan.

KTT ini menjadi penting karena dirancang untuk menghasilkan Deklarasi Bali mengenai Komunitas ASEAN dalam Komunitas Global Bangsa-Bangsa yang akan dirangkai dengan Deklarasi KTT Asia Timur mengenai Prinsip-Prinsip Hubungan yang Saling Menguntungkan, Deklarasi KTT Asia Timur mengenai Keterhubungan ASEAN, Deklarasi Bersama mengenai Kemitraan Komprehensif antara ASEAN dan PBB.

Forum regional ini juga akan membahas implementasi Deklarasi Perilaku para pihak dalam sengketa Laut China Selatan.

Berkaitan dengan ini, sebuah kelompok kerja dari pertemuan pejabat senior ASEAN untuk pertama kalinya membahas Kode Etik Perilaku (Code of Conduct/COC) di Laut China Selatan. COC akan menjadi dokumen yang lebih mengikat ketimbang DOC yang sifatnya lebih kerelaan.

Direktur Politik dan Keamanan ASEAN, Ade Padmo Sarwono mengatakan, negara-negara anggota ASEAN siap bertemu dengan China untuk membahas implementasi dan kelanjutan DOC tersebut, termasuk membahas berbagai "kegiatan" di Laut China Selatan yang disebut Ade sebagai "proyek".

Bahkan ASEAN siap mengajak China menentukan jenis "proyek", kapan, dimana, dan bagaimana "proyek" itu akan dilaksanakan yang semuanya dilakukan dalam suasana damai.

COC bisa menjadi pintu gerbang untuk menerapkan prinsip-prinsip damai di Laut China Selatan. Dan Indonesia diharapkan menjadi pembuka pintu gerbang itu.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan KTT di Bali harus meraup dua sukses, yaitu sukses penyelenggaraan dan sukses substansi. Salah satu sukses substansi itu adalah berkaitan dengan solusi di Laut China Selatan.

Indonesia mesti menjembataninya karena kalau tidak gelombang konflik di Laut China Selatan akan "menciprat" ke Indonesia juga. (*)

F008/A023

Oleh FX Lilik Dwi Mardianto
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011